Download KUHP silahkan klik disini
Download KUHAP silahkan klik disini
Download KUHAP via mediafire klik disini
Download KUHP vi mediafire klik disini
Thursday, 28 February 2013
Lalat
seperti gambar diatas, lalat hinggap di dedaunan yang masih segar tampaka embun pagi masih menempel.
Dedaunan yang hijau warnanya serasa membuat hati tenang, hati yang nyaman...
Hukum Khitan Perempuan
Dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Ada lima macam yang termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk hal-hal yang sepele yang menjadi naluri kebiasaan manusia.
Dalam konteks khitan, ulama sepakat bahwa laki-laki dianjurkan untuk berkhitan, karena secara logika bisa dipahami, khitan merupakan bagian dari kebersihan (thaharah). Tetapi tidak demikian bagi perempuan, banyak kalangan terutama tenaga medis yang melarang khitan bagi perempuan. Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwa khitan bagi perempuan harus dilakukan. Oleh karenanya, masalah khitan bagi perempuan perlu mendapatkan kejelasan secara tuntas dan menyeluruh.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan, ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah. Sedangkan menurut al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.
Pendapat yang melarang khitan perempuan sebetulnya tidak memiliki dalil syar’i, kecuali hanya sekedar melihat bahwa khitan perempuan adalah menyakitkan korban (perempuan). Sementara hadits yang menjelaskan khitan perempuan (hadits Abu Dawud) tidak menunjukkan taklif disamping juga keshahihannya diragukan. Padahal ada kaidah ushul yang menyatakan bahwa ‘adam al-dalil lais bi dalil (tidak adanya dalil bukan merupakansuatu dalil).
Adapun pendapat yang mengatakan sunnah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
Kata sunnah yang dikehendaki disini bukan berarti lawan kata wajib. Sebab kata sunnah apabila dipakai dalam sebuah hadits, maka tidak dimaksud sebagai lawan kata wajib. Namun lebih menunjukkan persoalan membedakan antara hukum laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, arti kata sunnah dan kata makrumah dalam hadits tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga bisa jadi artinya adalah laki-laki sunnah berkhitan dan perempuan mubah. Atau wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Atau laki-laki dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walimah al-khitan atau undangan, sedangkan perempuan justru yang baik dirahasiakan, tidak perlu diekspose atau disebarluaskan.
Sebagaimana disampaiakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari
Al-Mawardi berkata: “Mengkhitan perempuan yaitu memotong kulit yang ada di bagian atas vagina, yaitu tempat masuknya alat kelamin pria yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jantan. Bagian yang wajib dipotong adalah kulit yang timbul ke atas, bukan memotongnya habis. Abu Dawud telah meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyah: “Sungguh seorang perempuan akan berkhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda padanya: “Jangan engkau potong habis, sebab hal itu lebih baik bagi seorang perempuan.” Lalu Abu Dawud berkata: “Hadits itu bukan hadits kuat.” Saya (Ibn Hajar al-‘Asqalani) berpendapat, hadits itu punya dua syahid (penguat) dari hadits Anas dan hadits Ummu Aiman. Lalu dari hadits Abu al-Syaikh dalam Kitab al-‘Aqiqah, hadits lain dari al-Dhahak bin Qais dalam riwayat al-Baihaqi. Al-Nawawi berkata: “Khitan laki-laki disebut dengan istilah i’dzar dengan dzal yang dititik satu, sementara khitan perempuan disebut khafzh dengan kha’ dan zha’ yang dititik satu. Sedangkan Abu Syamah menyatakan bahwa pendapat ahli bahasa memutuskan keduanya disebut i’dzar, dan khafzh dikhususkan bagi perempuan. Abu ‘Ubaidah berkata: “Perempuan dan laki-laki beri’dzar (berkhitan). Saya mengi’dzar mereka berdua, maksudnya khatantuhuma (saya mengkhitan keduanya) dan akhtantuhuma (saya mengkhitan keduanya), dalam wazan dan maknanya. Al-Jauhari berkata: “Mayoritas diucapkan khafzhat al-jariyah (seorang perempuan berkhitan.)” Ia berkata: “Orang Arab menyangka bahwa seorang anak laki-laki ketika lahir pada saat muncul bintang qamar, qulfah (kulit ujung penis)nya melebar, sehingga seperti sudah dikhitan.” Ulama Syafi’iyah menghukumi orang yang lahir dalam keadaan sudah terkhitan sunnah menjalankan pisau di bagian khitan tanpa memotongnya. Abu Syamah berkata: “Mayoritas anak yang lahir dalam keadaan begitu, khitannya tidak sempurna, hanya ujung penis yang terlihat. Bila begitu, maka ia wajib menyempurnakan khitannya. Dalam kitab al-Madkhal Syaikh Abu Abdillah bin al-Hajj menyampaikan, hukum khitan perempuan masih diperselisihkan. Apakah mereka semua dikhitan atau dibedakan antara perempuan timur dikhitan dan perempuan barat tidak, sebab tidak adanya sisa bagian yang disyariatkan dipotong di vagina mereka, berbeda dengan wanita timur. Ia berkata: “Ulama yang punya pendapat seorang anak laki-laki yang lahir dalam keadaan terkhitan sunnah menjalankan pisau di tempat khitannya karena mematuhi perintah syari’ah, berpendapat begitu pula bagi seorang anak perempuan. Dan ulama yang tidak berpendapat begitu, maka tidak menghukumi sunnah menjalankan pisau di tempat khitan seorang perempuan.” Al-Syafi’i dan mayoritas Ashhabnya berpendapat atas kewajiban khitan, bukan keempat fithrah lainnya yang disebutkan dalam hadits bab ini. Dari Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah diriwayatkan menghukumi wajib. Dari Abu Hanifah menghukumi wajib namun bukan fardhu. Diriwayatkan pula darinya, hukum khitan itu sunnah yang berdosa bila ditinggalkan. Pada satu pendapat ashhab Syafi’iyah dinyatakan bahwa khitan tidak wajib bagi perempuan. Pendapat ini disampaikan -pula- oleh penulis kitab al-Mughni.
Begtiu pula keterangan dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
Sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima macam.” kemudian beliau menjelaskannya, beliau berkata: “Yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” Dan dalam hadits lain: “Sepuluh perkara termasuk fithrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air ke hidung, memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut rambut ketiak, mencukut rambut sekitar kemaluan, dan memercikkan air pada kemaluan untuk menghilangkan was-was.” Mash’ab berkata: “Yang kesepuluh telah terlupakan kecuali bila maksudnya adalah berkumur.” Sedangkan sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima macam.” maknanya adalah lima perkara yang termasuk fitrah, seperti dalam riwayat lain, yaitu: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah.” Sebenarnya macam fitrah itu tidak hanya sepuluh, dan Nabi Saw. telah menyinggungnya dengan sabda beliau: “Sepeluh perkara yang termasuk fithrah.” Wallahu a’lam.
Sementara makna fitrah sendiri diperselisihkan. Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: “Mayoritas ulama berpendapat, makna fitrah adalah sunnah. Demikian disampaikan oleh sekelompok ulama selain al-Khaththabi. Mereka berkata: “Maksudnya, fitrah itu termasuk sunnah para nabi -shalawatullah ‘alaihim wa al-salam-. Menurut satu pendapat fitrah diartikan sebagai ajaran agama. Lalu mayoritas fitrah di atas menurut ulama hukumnya tidak wajib. Sebagiannya diperselisihkan hukum wajibnya, seperti khitan, berkumur dan menghirup air ke hidung. Dan bisa saja perkara wajib disebut bersama dengan perkara sunnah, seperti firman Allah Swt.: “Kalian makanlah buahnya ketika berbuah, dan berikan haknya saat hari panennya.” Memberikan hak (zakat) hukumnya wajib, dan hukum memakannya tidak wajib. Wallahu a’lam.
Adapun perincian hukumnya, maka khitan wajib menurut Imam Syafi’i dan ulama banyak. Sunnah menurut Malik dan mayoritas ulama. Menurut al-Syafi’i wajib khitan itu bagi semua laki-laki dan perempuan. Kemudian yang wajib bagi laki-laki adalah memotong semua kulit yang menutup khasyafah (ujung penis) sehingga terlihat semuanya, sementara bagi wanita adalah memotong sebagian kecil kulit yang berada di vagina bagian atas. Pendapat al-Shahih dalam madzhab kita yang disetujui mayoritas ulama Syafi’iyah menyatakan, khitan itu boleh dilakukan semasa kecil, dan tidak wajib. Kita juga mempunyai satu pendapat Ashhab yang menyatakan khitan itu wajib atas wali, yakni mengkhitan anak kecilnya sebelum mencapai usia baligh. Terdapat pula pendapat Ashhab yang mengharamkan khitan sebelum mencapai usia 10 tahun. Ketika kita memutuskan dengan pendapat al-shahih, maka disunnahkan mengkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran. Adakah hari kelahiran dihitung menjadi bagian dari tujuh hari itu? atau tanpa menghitung hari kelahiran? Dalam masalah ini ada dua pendapat Ashhab. Pendapat yang kuat adalah menghitung hari kelahiran menjadi bagian tujuh hari tersebut.
Dan begitu juga dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
Maka khitan perempuan dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian kecil kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya sama sekali. Bahkan Rasulullah Saw. justru mengingatkan agar tidak berlebihan dalam memotong, sebagaimana terungkap dalam hadits Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah di atas.
Adapun waktu khitan bagi perempuan yang paling baik adalah hari ketujuh dari kelahirannya. Ulama berbeda pendapat tentang penetapan hitungan hari ketujuh. Ada yang berpendapat hari pertama kelahiran dihitung satu hari, dan ini pendapat yang kuat, sementara itu, ada yang menganggap hari pertama tidak dihitung.
sumber : www.nu.or.id
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk hal-hal yang sepele yang menjadi naluri kebiasaan manusia.
Dalam konteks khitan, ulama sepakat bahwa laki-laki dianjurkan untuk berkhitan, karena secara logika bisa dipahami, khitan merupakan bagian dari kebersihan (thaharah). Tetapi tidak demikian bagi perempuan, banyak kalangan terutama tenaga medis yang melarang khitan bagi perempuan. Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwa khitan bagi perempuan harus dilakukan. Oleh karenanya, masalah khitan bagi perempuan perlu mendapatkan kejelasan secara tuntas dan menyeluruh.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan, ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah. Sedangkan menurut al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.
Pendapat yang melarang khitan perempuan sebetulnya tidak memiliki dalil syar’i, kecuali hanya sekedar melihat bahwa khitan perempuan adalah menyakitkan korban (perempuan). Sementara hadits yang menjelaskan khitan perempuan (hadits Abu Dawud) tidak menunjukkan taklif disamping juga keshahihannya diragukan. Padahal ada kaidah ushul yang menyatakan bahwa ‘adam al-dalil lais bi dalil (tidak adanya dalil bukan merupakansuatu dalil).
Adapun pendapat yang mengatakan sunnah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنْ أَبِي
الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
“Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari Ayahnya: “Sungguh
Nabi Saw. bersabda: “Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan
kemuliaan bagi para perempuan.” (HR. Ahmad)Kata sunnah yang dikehendaki disini bukan berarti lawan kata wajib. Sebab kata sunnah apabila dipakai dalam sebuah hadits, maka tidak dimaksud sebagai lawan kata wajib. Namun lebih menunjukkan persoalan membedakan antara hukum laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, arti kata sunnah dan kata makrumah dalam hadits tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga bisa jadi artinya adalah laki-laki sunnah berkhitan dan perempuan mubah. Atau wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Atau laki-laki dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walimah al-khitan atau undangan, sedangkan perempuan justru yang baik dirahasiakan, tidak perlu diekspose atau disebarluaskan.
Sebagaimana disampaiakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ
أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ
الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ )رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ)
قَالَ
الْمَاوَرْدِيُّ خِتَانُهَا قَطْعُ جِلْدَةٍ تَكُونُ فِي أَعْلَى فَرْجِهَا
فَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ كَالنَّوَاةِ أَوْ كَعُرُفِ الدِّيكِ
وَالْوَاجِبُ قَطْعُ الْجِلْدَةِ الْمُسْتَعْلِيَّةِ مِنْهُ دُونَ
اسْتِئْصَالِهِ وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ
عَطِيَّةَ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا
النَبِيُّ r (لَا تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ) وَقَالَ
أَنَّهُ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ قُلْتُ وَلَهُ شَاهِدَانِ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ
وَ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ أَيْمَنَ ثُمَّ أَبِي الشَّيْخِ فِي كِتَابِ
الْعَقِيقَةِ وَآخَرَ عَنِ الضَّحَاكِ بْنِ قَيْسٍ عِنْدَ الْبَيْهَقِيِّ
قَالَ النَّوَوِيُّ وَيُسَمَّى خِتَانُ الرَّجُلِ إِعْذَارًا بِذَالٍ
مُعْجَمَةٍ وَخِتَانُ الْمَرْأَةِ خَفْضًا بِخَاءٍ وَضَادٍ مُعْجَمَتَيْنِ
وَقَالَ أَبُو شَامَةَ كَلَامُ أَهْلِ اللُّغَةِ يَقْتَضِي تَسْمِيَّةَ
الْكُلَّ إِعْذَارًا وَالْخَفْضُ يَخْتَصُّ بِالْأُنْثَى قَالَ أَبُو
عُبَيْدَةَ عَذَرَتِ الْجَارِيَةُ وَالْغُلَامُ وَأَعْذَرْتُهُمَا
خَتَنْتُهُمَا وَأَخْتَنْتُهُمَا وَزْنًا وَمَعْنًى قَالَ الْجَوْهَرِيُّ
وَالْأَكْثَرُ خَفَضَتِ الْجَارِيَةُ قَالَ وَتَزْعُمُ الْعَرَبُ أَنَّ
الْغُلَامَ إِذَا وُلِدَ فِي الْقَمَرِ فَسَخَتْ قُلْفَتُهُ أَيِ
اتَّسَعَتْ فَصَارَ كَالْمَخْتُونِ وَقَدِ اسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ مِنَ
الشَّافِعِيَّةِ فِيمَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا أَنْ يَمُرَّ بِالْمُوسَى عَلَى
مَوْضِعِ الْخِتَانِ مِنْ غَيْرِ قَطْعٍ قَالَ أَبُو شَامَةَ وَغَالِبُ
مَنْ يُولَدُ كَذلِكَ لَا يَكُونُ خِتَانُهُ تَامًّا بَلْ يَظْهَرُ طَرَفُ
الْحَشَفَةِ فَإِنْ كَانَ كَذلِكَ وَجَبَ تَكْمِيلُهُ وَأَفَادَ الشَّيْخُ
أَبُو عَبْدِ اللهِ بْنُ الْحَاجِّ فِي الْمَدْخَلِ أَنَّهُ اخْتُلِفَ فِي
النِّسَاءِ هَلْ يُخْفَضْنَ عُمُومًا أَوْ يُفْرَقُ بَيْنَ نِسَاءِ
الْمَشْرِقِ فَيُخْفَضْنَ وَنِسَاءُ الْمَغْرِبِ فَلَا يُخْفَضْنَ لِعَدَمِ
الْفَضْلَةِ الْمَشْرُوعِ قَطْعُهَا مِنْهُنَّ بِخِلَافِ نِسَاءِ
الْمَشْرِقِ قَالَ فَمَنْ قَالَ أَنَّ مَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا اسْتُحِبَّ
إِمْرَارَ الْمُوسَى عَلَى الْمَوْضِعِ امْتِثَالًا لِلْأَمْرِ قَالَ فِي
حَقِّ الْمَرْأَةِ كَذلِكَ وَمَنْ لَا فَلَا وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ
الْخِتَانِ دُونَ بَاقِي الْخِصَالِ الْخَمْسِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْبَابِ
الشَّافِعِيُّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَقَالَ بِهِ مِنَ الْقُدَمَاءِ
عَطَاءُ حَتَّى قَالَ لَوْ أَسْلَمَ الْكَبِيرُ لَمْ يَتِمَّ إِسْلَامُهُ
حَتَّى يَخْتِنَ وَعَنْ أَحْمَدَ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ يَجِبُ وَعَنْ
أَبِي حَنِيفَةَ وَاجِبٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ وَعَنْهُ سُنَّةٌ يَأْثَمُ
بِتَرْكِهِ وَفِي وَجْهٍ لِلشَّافِعِيَّةِ لَا يَجِبُ فِي حَقِّ النِّسَاءِ
وَهُوَ الَّذِي أَوْرَدَهُ صَاحِبُ الْمُغْنِي
“Fithrah itu ada lima, atau lima macam yang termasuk fitrah,
yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.” (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah)Al-Mawardi berkata: “Mengkhitan perempuan yaitu memotong kulit yang ada di bagian atas vagina, yaitu tempat masuknya alat kelamin pria yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jantan. Bagian yang wajib dipotong adalah kulit yang timbul ke atas, bukan memotongnya habis. Abu Dawud telah meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyah: “Sungguh seorang perempuan akan berkhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda padanya: “Jangan engkau potong habis, sebab hal itu lebih baik bagi seorang perempuan.” Lalu Abu Dawud berkata: “Hadits itu bukan hadits kuat.” Saya (Ibn Hajar al-‘Asqalani) berpendapat, hadits itu punya dua syahid (penguat) dari hadits Anas dan hadits Ummu Aiman. Lalu dari hadits Abu al-Syaikh dalam Kitab al-‘Aqiqah, hadits lain dari al-Dhahak bin Qais dalam riwayat al-Baihaqi. Al-Nawawi berkata: “Khitan laki-laki disebut dengan istilah i’dzar dengan dzal yang dititik satu, sementara khitan perempuan disebut khafzh dengan kha’ dan zha’ yang dititik satu. Sedangkan Abu Syamah menyatakan bahwa pendapat ahli bahasa memutuskan keduanya disebut i’dzar, dan khafzh dikhususkan bagi perempuan. Abu ‘Ubaidah berkata: “Perempuan dan laki-laki beri’dzar (berkhitan). Saya mengi’dzar mereka berdua, maksudnya khatantuhuma (saya mengkhitan keduanya) dan akhtantuhuma (saya mengkhitan keduanya), dalam wazan dan maknanya. Al-Jauhari berkata: “Mayoritas diucapkan khafzhat al-jariyah (seorang perempuan berkhitan.)” Ia berkata: “Orang Arab menyangka bahwa seorang anak laki-laki ketika lahir pada saat muncul bintang qamar, qulfah (kulit ujung penis)nya melebar, sehingga seperti sudah dikhitan.” Ulama Syafi’iyah menghukumi orang yang lahir dalam keadaan sudah terkhitan sunnah menjalankan pisau di bagian khitan tanpa memotongnya. Abu Syamah berkata: “Mayoritas anak yang lahir dalam keadaan begitu, khitannya tidak sempurna, hanya ujung penis yang terlihat. Bila begitu, maka ia wajib menyempurnakan khitannya. Dalam kitab al-Madkhal Syaikh Abu Abdillah bin al-Hajj menyampaikan, hukum khitan perempuan masih diperselisihkan. Apakah mereka semua dikhitan atau dibedakan antara perempuan timur dikhitan dan perempuan barat tidak, sebab tidak adanya sisa bagian yang disyariatkan dipotong di vagina mereka, berbeda dengan wanita timur. Ia berkata: “Ulama yang punya pendapat seorang anak laki-laki yang lahir dalam keadaan terkhitan sunnah menjalankan pisau di tempat khitannya karena mematuhi perintah syari’ah, berpendapat begitu pula bagi seorang anak perempuan. Dan ulama yang tidak berpendapat begitu, maka tidak menghukumi sunnah menjalankan pisau di tempat khitan seorang perempuan.” Al-Syafi’i dan mayoritas Ashhabnya berpendapat atas kewajiban khitan, bukan keempat fithrah lainnya yang disebutkan dalam hadits bab ini. Dari Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah diriwayatkan menghukumi wajib. Dari Abu Hanifah menghukumi wajib namun bukan fardhu. Diriwayatkan pula darinya, hukum khitan itu sunnah yang berdosa bila ditinggalkan. Pada satu pendapat ashhab Syafi’iyah dinyatakan bahwa khitan tidak wajib bagi perempuan. Pendapat ini disampaikan -pula- oleh penulis kitab al-Mughni.
Begtiu pula keterangan dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ
الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ
وَنَتْفُ اْلإِبِطِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ)
قَوْلُهُ (الْفِطْرَةُ
خَمْسٌ) ثُمَّ فَسَّرَ r الْخَمْسَ فَقَالَ الخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ
وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَفِي
الْحَدِيثِ الْآخَرِ (عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ
وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكِ وَاسْتِنْشَاقِ الْمَاءِ وَقَصِّ
الْأَظْفَارِ وَغَسْلِ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفِ الْإِبْطِ وَحَلْقِ
الْعَانَةِ وَانْتِقَاصِ الْمَاءِ قَالَ مَصْعَبٌ وَنُسِيَتِ الْعَاشِرَةُ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةُ) أَمَّا قَوْلُهُ r (الْفِطْرَةُ
خَمْسٌ) فَمَعْنَاهُ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ كَمَا فِي الرِّوَايَةِ
الْأُخْرَى (عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ) وَلَيْسَتْ مُنْحَصِرَةً فِي
الْعَشْرِ وَقَدْ أَشَارَ r إِلَى عَدَمِ انْحِصَارِهَا فِيهَا بِقَوْلِهِ
مِنَ الْفِطْرَةِ وَاللهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا الْفِطْرَةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ
فِي الْمُرَادِ بِهَا هُنَا فَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ
ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهَا السُّنَّةُ وَكَذَا ذَكَرَهُ
جَمَاعَةٌ غَيْرُ الْخَطَّابِيِّ قَالُوا وَمَعْنَاهُ أَنَّهَا مِنْ سُنَنِ
الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ وَقِيْلَ هِيَ
الدِّينُ ثُمَّ إِنَّ مُعْظَمَ هذِهِ الْخِصَالِ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ
عِنْدَ الْعُلَمَاءِ وَفِي بَعْضِهَا خِلَافٌ فِي وُجُوبِهِ كَالْخِتَانِ
وَالْمَضْمَضَةِ وَالاسْتِنْشَاقِ وَلَا يَمْتَنِعُ قَرْنُ الْوَاجِبِ
بِغَيْرِهِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا
أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَالْإِيتَاءُ وَاجِبٌ
وَالْأَكْلُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَاللهُ أَعْلَمُ أَمَّا تَفْصِيلُهَا
(فَالْخِتَانُ) وَاجِبٌ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَكَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ
وَسُنَّةٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ عِنْدَ
الشَّافِعِيِّ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ جَمِيعًا ثُمَّ إِنَّ
الْوَاجِبَ فِي الرَّجُلِ أَنْ يَقْطَعَ جَمِيعَ الْجِلْدَةِ الَّتِي
تُغْطِي الْحَشَفَةَ حَتَّى يَنْكَشِفَ جَمِيعَ الْحَشَفَةِ وَفِي
الْمَرْأَةِ يَجِبُ قَطْعُ أَدْنَى جُزْءٍ مِنَ الْجِلْدَةِ الَّتِي فِي
أَعْلَى الْفَرْجِ وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِنَا الَّذِي عَلَيْهِ
جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْخِتَانَ جَائِزٌ فِي حَالِ الصِّغَرِ
لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ
يَخْتِنَ الصَّغِيرَ قَبْلَ بُلُوغِهِ وَوَجْهٌ أَنَّهُ يَحْرُمُ خِتَانُهُ
قَبْلَ عَشْرِ سِنِينَ وَإِذَا قُلْنَا بِالصَّحِيحِ اسْتُحِبَّ أَنْ
يُخْتَنَ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ مِنْ وِلَادَتِهِ وَهَلْ يُحْسَبُ
يَوْمَ الْوِلَادَةِ مِنَ السَّبْعِ أَمْ تَكُونُ سَبْعْةٌ سِوَاهُ فِيهِ
وَجْهَانِ أَظْهَرُهُمُا يُحْسَبُ
“Fitrah itu ada lima macam, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra.)Sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima macam.” kemudian beliau menjelaskannya, beliau berkata: “Yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” Dan dalam hadits lain: “Sepuluh perkara termasuk fithrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air ke hidung, memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut rambut ketiak, mencukut rambut sekitar kemaluan, dan memercikkan air pada kemaluan untuk menghilangkan was-was.” Mash’ab berkata: “Yang kesepuluh telah terlupakan kecuali bila maksudnya adalah berkumur.” Sedangkan sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima macam.” maknanya adalah lima perkara yang termasuk fitrah, seperti dalam riwayat lain, yaitu: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah.” Sebenarnya macam fitrah itu tidak hanya sepuluh, dan Nabi Saw. telah menyinggungnya dengan sabda beliau: “Sepeluh perkara yang termasuk fithrah.” Wallahu a’lam.
Sementara makna fitrah sendiri diperselisihkan. Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: “Mayoritas ulama berpendapat, makna fitrah adalah sunnah. Demikian disampaikan oleh sekelompok ulama selain al-Khaththabi. Mereka berkata: “Maksudnya, fitrah itu termasuk sunnah para nabi -shalawatullah ‘alaihim wa al-salam-. Menurut satu pendapat fitrah diartikan sebagai ajaran agama. Lalu mayoritas fitrah di atas menurut ulama hukumnya tidak wajib. Sebagiannya diperselisihkan hukum wajibnya, seperti khitan, berkumur dan menghirup air ke hidung. Dan bisa saja perkara wajib disebut bersama dengan perkara sunnah, seperti firman Allah Swt.: “Kalian makanlah buahnya ketika berbuah, dan berikan haknya saat hari panennya.” Memberikan hak (zakat) hukumnya wajib, dan hukum memakannya tidak wajib. Wallahu a’lam.
Adapun perincian hukumnya, maka khitan wajib menurut Imam Syafi’i dan ulama banyak. Sunnah menurut Malik dan mayoritas ulama. Menurut al-Syafi’i wajib khitan itu bagi semua laki-laki dan perempuan. Kemudian yang wajib bagi laki-laki adalah memotong semua kulit yang menutup khasyafah (ujung penis) sehingga terlihat semuanya, sementara bagi wanita adalah memotong sebagian kecil kulit yang berada di vagina bagian atas. Pendapat al-Shahih dalam madzhab kita yang disetujui mayoritas ulama Syafi’iyah menyatakan, khitan itu boleh dilakukan semasa kecil, dan tidak wajib. Kita juga mempunyai satu pendapat Ashhab yang menyatakan khitan itu wajib atas wali, yakni mengkhitan anak kecilnya sebelum mencapai usia baligh. Terdapat pula pendapat Ashhab yang mengharamkan khitan sebelum mencapai usia 10 tahun. Ketika kita memutuskan dengan pendapat al-shahih, maka disunnahkan mengkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran. Adakah hari kelahiran dihitung menjadi bagian dari tujuh hari itu? atau tanpa menghitung hari kelahiran? Dalam masalah ini ada dua pendapat Ashhab. Pendapat yang kuat adalah menghitung hari kelahiran menjadi bagian tujuh hari tersebut.
Dan begitu juga dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
أَمَّا خِتَانُ
الْمَرْأَةِ فَاعْلَمْ أَنَّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ هُوَ مَخْرَجُ الْحَيْضِ
وَالْوَلَدِ وَالْمَنِيِّ وَفَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ ثَقْبٌ مِثْلُ
إحْلِيلِ الرَّجُلِ هُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ وَبَيْنَ هَذَا الثَّقْبِ
وَمَدْخَلِ الذَّكَرِ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ وَفَوْقَ مَخْرَجِ الْبَوْلِ
جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ مِثْلُ وَرَقَةٍ بَيْنَ الشَّفْرَيْنِ وَالشَّفْرَانِ
تُحِيطَانِ بِالْجَمِيعِ فَتِلْكَ الْجِلْدَةُ الرَّقِيقَةُ يُقْطَعُ
مِنْهَا فِي الْخِتَانِ وَهِيَ خِتَانُ الْمَرْأَة
Sedangkan khitan perempuan, maka ketahuilah, bahwa tempat masuknya
penis adalah tempat keluarnya haidh, anak dan mani. Di atas (bagian
vagina) yang menjadi tempat masuknya penis terdapat lubang seperti
lubang alat kelamin pria yang menjadi saluran kencing perempuan. Di
antara saluran kencing dan tempat masuknya penis tersebut terdapat kulit
tipis. Di atas saluran kencing perempuan itu terdapat kulit tipis
seperti daun yang terletak di antara dua bibir vagina. Dua bibir vagina
tersebut menutupi semua bagian-bagian tersebut. Kulit tipis di atas
saluran kencing itulah yang sebagiannya dipotong saat khitan. Dan itulah
khitan perempuan.Maka khitan perempuan dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian kecil kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya sama sekali. Bahkan Rasulullah Saw. justru mengingatkan agar tidak berlebihan dalam memotong, sebagaimana terungkap dalam hadits Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah di atas.
Adapun waktu khitan bagi perempuan yang paling baik adalah hari ketujuh dari kelahirannya. Ulama berbeda pendapat tentang penetapan hitungan hari ketujuh. Ada yang berpendapat hari pertama kelahiran dihitung satu hari, dan ini pendapat yang kuat, sementara itu, ada yang menganggap hari pertama tidak dihitung.
sumber : www.nu.or.id
Kucing pun dapat Damai
Damai, itulah kata yang mungkin tepat saat ini yang perlu disampaika ke semua warga Indonesia.
Seperti yang kita lihat bersama di media televisi, hampir setiap hari disajikan berita tawuran mahasiswa yang masih dalam satu perguruan tinggi, para politis yang saling serang dan saling menjatuhkan, perang antara kubu pemerintah dan oposisi seperti yang terjadi di Suriah, belum konflik-konflik lainnya seperti Korea Utara dan Korea Selatan yang masih serumpun korea..
Kucing Saja dapat damai meskipun berbeda ras, berbeda ukuran tubuh dan warna kulit...
Seperti yang kita lihat bersama di media televisi, hampir setiap hari disajikan berita tawuran mahasiswa yang masih dalam satu perguruan tinggi, para politis yang saling serang dan saling menjatuhkan, perang antara kubu pemerintah dan oposisi seperti yang terjadi di Suriah, belum konflik-konflik lainnya seperti Korea Utara dan Korea Selatan yang masih serumpun korea..
Kucing Saja dapat damai meskipun berbeda ras, berbeda ukuran tubuh dan warna kulit...
Foto Bekicot
Pagi hari pergi ke sebuah sekolah dasar di Jagakarsa, mencoba kamera dslr canon 1100D mencari objek untuk di abadikan, setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya menemukan objek yang dapat diabadikan, dapatlah bekicot yang sedang sarapan pagi makan dedaunan.
Tampak pada foto sebagian dedaunan sudah tidak berbentuk seperti teman-teman lainnya. Nah untuk menambah pengetahuan mari kita kenalkan apa itu bekicot.
Sejarah Bekicot
Bekicot berasal dari Afrika Timur, tersebar keseluruh dunia dalam waktu relatif singkat, karena berkembang biak dengan cepat. Bekicot tersebar ke arah Timur sampai di kepulauan Mauritius, India, Malaysia, akhirnya ke Indonesia. Bekicot sejak tahun 1933 telah ada disekitar Jakarta, sumber lain menyatakan bahwa bekicot jenis Achatina fulica masuk ke Indonesia pada tahun 1942 (masa pendudukan Jepang). Sampai saat ini, bekicot jenis Achanita fulica banyak terdapat di Pulau Jawa.
Manfaat :
Selain pakan ternak bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap. Masyarakat yang menggemari makanan dari bahan baku bekicot (sate bekicot,
keripik bekicot ) adalah masyarakat Kediri.
Disamping itu bekicot juga kerap dipakai dalam pengobatan tradisional, karena ekstrak daging bekicot dan lendirnya sangat bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti abortus, sakit waktu menstruasi, radang selaput mata, sakit gigi, gatal-gatal, jantung dan lain-lain. Sedangkan kulit bekicot sangat mujarab untuk penyakit tumor. Sejenis obat yang dikenal berasal dari kulit bekicot, dinamakan Maulie., yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti kekejangan, jantung suka berdebar, tidak bisa tidur/insomania, leher membengkak dan penyakit kaum wanita termasuk keputihan
Apabila kita membicarakan manfaat daging bekicot yang ada didalamnya terdapat kandungan asam amino essensial. Asam amino essensial adalah unsur unsur dari makanan yang membentuk protein dalam tubuh kita. Kumpulan asam amino essensial dalam 100 g daging bekicot kering diantaranya terdiri atas leucine 4,62 gr, lycine 4,35 gr, arginine 4,88 gr, aspartic acid 5,98 gr, dan glutamic acid 8,16 gr.
Berikut penjabaran dari manfaat daging bekicot ditinjau dari tiap unsur kandungan tersebut :
Leucine
Semoga Bermanfaat
sumber :
1.http://warintek.bantulkab.go.id
2.http://anekakeripikmalang.com
Tampak pada foto sebagian dedaunan sudah tidak berbentuk seperti teman-teman lainnya. Nah untuk menambah pengetahuan mari kita kenalkan apa itu bekicot.
Sejarah Bekicot
Bekicot berasal dari Afrika Timur, tersebar keseluruh dunia dalam waktu relatif singkat, karena berkembang biak dengan cepat. Bekicot tersebar ke arah Timur sampai di kepulauan Mauritius, India, Malaysia, akhirnya ke Indonesia. Bekicot sejak tahun 1933 telah ada disekitar Jakarta, sumber lain menyatakan bahwa bekicot jenis Achatina fulica masuk ke Indonesia pada tahun 1942 (masa pendudukan Jepang). Sampai saat ini, bekicot jenis Achanita fulica banyak terdapat di Pulau Jawa.
Manfaat :
Selain pakan ternak bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap. Masyarakat yang menggemari makanan dari bahan baku bekicot (sate bekicot,
keripik bekicot ) adalah masyarakat Kediri.
Disamping itu bekicot juga kerap dipakai dalam pengobatan tradisional, karena ekstrak daging bekicot dan lendirnya sangat bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti abortus, sakit waktu menstruasi, radang selaput mata, sakit gigi, gatal-gatal, jantung dan lain-lain. Sedangkan kulit bekicot sangat mujarab untuk penyakit tumor. Sejenis obat yang dikenal berasal dari kulit bekicot, dinamakan Maulie., yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti kekejangan, jantung suka berdebar, tidak bisa tidur/insomania, leher membengkak dan penyakit kaum wanita termasuk keputihan
Apabila kita membicarakan manfaat daging bekicot yang ada didalamnya terdapat kandungan asam amino essensial. Asam amino essensial adalah unsur unsur dari makanan yang membentuk protein dalam tubuh kita. Kumpulan asam amino essensial dalam 100 g daging bekicot kering diantaranya terdiri atas leucine 4,62 gr, lycine 4,35 gr, arginine 4,88 gr, aspartic acid 5,98 gr, dan glutamic acid 8,16 gr.
Berikut penjabaran dari manfaat daging bekicot ditinjau dari tiap unsur kandungan tersebut :
Leucine
- Membantu mencegah penyusutan otot.
- Membantu pemulihan pada kulit dan tulang.
- Kekurangan lycine akan mempengaruhi pembuatan protein pada otot dan jaringan penghubung lainnya.
- Bersama dengan Vitamin C membentuk L-Carnitine.
- Membantu dalam pembentukan kolagen maupun jaringan penghubung tubuh lainnya (cartilage dan persendian).
- Diyakini merangsang produksi hormon pertumbuhan.
- Diyakini sebagai pemicu Nitric Oxide (suatu senyawa yang melegakan pembuluh darah untuk aliran darah dan pengantaran nutrisi yang lebih baik).
- Bersama glycine dan methionine membentuk creatine.
- Membantu mengubah karbohidrat menjadi energy.
- Membangun daya tahan tubuh melalui immunoglobulin dan antibodi.
- Meredakan tingkat ammonia dalam darah setelah olah raga.
- Pemicu dasar untuk glutamine, proline, ornithine, arginine, glutathine, dan GABA.
- Diperlukan untuk kinerja otak dan metabolisme asam amino lain.
Semoga Bermanfaat
sumber :
1.http://warintek.bantulkab.go.id
2.http://anekakeripikmalang.com
Wednesday, 27 February 2013
Oh Enaknya
Wow enaknya...nikmat dimakan di siang hari,,namun sayang hanya disisakan kulitnya saja..
ehmmmm
buah dari indonesia kisaran harga 10-15 ribu rupiah per kilogram..banyak terdapat di pinggir jalanan??
ehmmmm
buah dari indonesia kisaran harga 10-15 ribu rupiah per kilogram..banyak terdapat di pinggir jalanan??
Hidup Bebas Tanpa Beban
Siang hari di tengah Kota Bandung, seorang laki-laki tidur pulas di pinggiran jalan dekat emperan toko. Bunyi klakson dan knalpot kendaraan tidak membuatnya terbangun namun justru tampak semakin pulas.
Tak ketinggalan plastik kresek yang dijadikan tempat untuk menyimpan perbekalannya.
Salah Siapa....Oh Salah Siapa...Keinginan sendiri atau memang keadaan yang menjadikan harus demikian???
Tak ketinggalan plastik kresek yang dijadikan tempat untuk menyimpan perbekalannya.
Salah Siapa....Oh Salah Siapa...Keinginan sendiri atau memang keadaan yang menjadikan harus demikian???
Plang Jalan Kota Bandung
Kalau saudara mau ke stasiun tinggal lurus saja,,lewat tol tinggal belok kanan, mau ke jalan Ir. H. Juanda dan Surapati tinggal belok kiri,,gitu aja repot,...he...he..he...jangan lupa lihat lampu merah...
Subscribe to:
Posts (Atom)