Tuesday, 16 April 2013
Tiga Kiai yang Belum Ada Bandingnya
Dari sekian banyak kiai pemikir dari Indonesia yang memiliki reputasi internasional terdapat tiga sosok yang masuk dalam kategori ‘super star’. Mereka adalah Syekh Nawawi Banten (wafat sekitar 1896-1897 M), Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau (wafat 1915), Kiai Mahfuzh dari Termas (wafat sekitar 1919-1920). Semasa hidupnya mereka mampu menjadi intelektual terkemuka di Makkah yang saat itu menjadi salah satu pusat pemikiran agama Islam.
Snouck Hugronye yang pernah cukup lama tinggal di Makkah untuk menyelidiki pengaruh pemikiran Islam di Indonesia, menyebut Syekh Nawawi Banten (nama lengkapnya Muhammad bin ‘Umar Nawawi Al Bantani) sebagai orang yang paling dalam pengetahuannya di Makkah namun mempunyai sifat rendah hati.
Nawawi juga merupakan penulis produktif. Muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Karya Nawawi pun hingga kini masih kuat pengaruhnya dan dikaji di seluruh pesantren. Bahkan semua kiai zaman sekarang menganggap dia sebagai nenek moyang intelektual Islam.
Sosok kiai ‘super star’ kedua adalah Syekh Ahmad Khatib yang berasal dari Sumatera Barat. Dia adalah salah seorang dari Indonesia yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram dan dijadikan sebagai salah seorang imam di sana. Kehormatan menjadi imam sungguh besar artinya, karena jabatan yang sangat terhormat ini Syekh Ahmad Khatib biasanya hanya diperuntukan bagi alim ulama kelahiran Makkah saja.
Sosok Syekh Ahmad Khatib juga dikenal sebagai bapak reformasi keagamaan di Indonesia. Dia terkenal menjadi figur pemikir yang berani berpolemik melawan adat suku asalnya (Minangkabau) dan `melawan’ pemikiran tarekat Naqsabandiyah (sebuah tarekat yang punya pengikut paling banyak di Sumatera Barat). Beberapa kitab hasil pemikirannya masih dipakai di sejumlah pesantren hingga sekarang.
Tokoh ‘super star’ ketiga adalah Kiai Mahfuzh asal Termas. Posisi dia cukup strategis terutama bagi para kiai yang tinggal di Pulau Jawa. Bahkan, sosok Kiai Mahfuzh bagi para kiai yang tinggal Jawa lebih dihormati, misalnya bila dibandingkan dengan posisi penghormatan kepada Syekh Nawawi dari Banten itu.
Kedudukan figur istimewa dari Kia Mahfuzh semakin dapat dimengerti karena dia merupakan guru dari KH Hasyim Asy’ari, yang kemudian menjadi pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama. Posisi inilah yang kemudian dipahami sebagai penyebab tingginya reputasi Kiai Mahfuzh itu. Selain berguru kepada Kiai Mahfuzh, KH Hasyim Asy’ari juga berguru kepada KH Kholil Bangkalan.
Kiai Mahfuzh sendiri menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab terkenal yang mengajar di Masjidil Haram. Karyanya yang penting berupa empat jilid kitab fiqih yang merupakan komentar atas sebuah kitab yang saat itu banyak dipakai di Indonesia, yakni kitab Mauhibah Dzawai Al-Fadhl yang dicetak di Mesir pada 1315 H (1897-9 M).
Selain itu, Kiai Mahfuzh juga merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadis Shahih Bukhari. “Di luar tiga ulama ini, hingga kini belum ada ada orang Indonesia yang setara reputasinya dengan mereka, misalnya mampu menjadi pengajar agama atau imam Masjid Al-Haram, di Makkah,” ujar KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4. Pada suatu kesempatan perhelatan para alim ulama Gus Dur pernah mengatakan bahwa dia merindukan tampilnya kembali figur kiai Indonesia dengan reputasi cemerlang yang pemikirannya berpengaruh luas di dunia Islam. “Kapan Gus kiai seperti itu akan terbentuk atau terlahir kembali?” shoelhi
sumber : http://www.berita9online.com
Labels:
DAKWAH
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment