Pages

Wednesday, 29 May 2013

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung, masih perlukah untuk dipertahankan?



Di tengah tahun 2013, banyak pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur dan Bupati/Walikota dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Pilkada yang dilaksanakan setelah orde baru (Orba) tumbang, tepatnya setelah gerakan reformasi berubah dari pemilihan yang dilaksanakan oleh anggota DPRD Tingkat I untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta anggota DPRD Tingkat II untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota menjadi pemilihan yang dilaksanakn secara langsung oleh masyarakat.
Dengan adanya Pilkada secara langsung merupakan prestasi tertinggi Indonesia dalam berdemokrasi. Negara yang besar dengan penduduk nomor lima terbesar di Indonesia, terdiri dari berbagai daerah kepulauan mampu menyelenggarakan Pilkada secara langsung. Jika melihat secara kasat mata hal ini merupakan suatu kebanggaan yang membuat kita bangga bahwa Indonesia dapat meniru negara yang dianggap paling demokrasi di dunia yakni Amerika Serikat. Ditengah kebanggan dan hingar bingar merayakan kebangkitan demokrasi di Indonesia ternyata Pilkada secara langsung di satu sisi menjadi suatu prestasi namun di sisi lain merupakan bentuk swastanisasi birokasi/kapitalisasi birokrasi dan akhir-akhir ini diduga menjadi penyebab makin maraknya kasus korupsi.
Lalu kenapa muncul wacana, bahwa masih layakkah Pilkada secara langsung untuk dipertahankan.
1)         Berdasarkan sejumlah pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah, partisipasi masyarakat kurang. Pilkada secara langsung mungkin oleh para pencetusnya di ajukan untuk memberi kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sesuai dengan hati nuraninya, namun kenyatannya justru partisipasi masyarakat semakin menurun. Menurunnya partisipasi masyarakat tentunya ada berbagai alasan, berikut alasan yang ada di masyarakat terkait pelaksanaan Pilkada :
a.       Isu korupsi yang sedang gencar diberitakan di media yang banyak menyeret para pejabat dan partai politik (parpol) ikut andil dalam menurunnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Pilkada. Banyak masyarakat yang merasa dikhianati oleh pemimpin dan parpoll yang dia pilih dalam Pemilu dan Pilkada dampaknya masyarakat menjadi malas dalam berpartisipasi pada pelaksanaan Pilkada. Masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi biasanya menamakan dirinya Golongan Putih (Golput);
b.       Pelaksanaan Pemilu dan pelaksanaan kepala pemerintahan yang dilaksanakan dalam waktu berbeda dari mulai Pemilihan Presiden (Pilpres), Pilkada Gubenur dan Wakil Gubernur, Pilkada Bupati dan Wakil Bupati, Pilkada Walikota dan Wakil Walikota, dan terakhir adalah pemilihan Kepala Desa bahkan ada RT dan RW yang dipilih langsung oleh masyarakat, hanya Camat yang tidak dipilih langsung. Pelaksanaan yang tidak serentak, akan berdampak pada masyarakat yang sedang merantau, jika mereka memaksakan pulang ke daerah asal sesuai dengan kartu tanda penduduk (KTP) biaya mudik akan semakin mahal dan tentunya juga pengurusan izin bagi mereka yang bekerja menjadi pegawai atau karyawan. Jika didaerah asalnya dalam satu tahun ada tiga bentuk pemilihan kepala daerah, seperti pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota dan Kepala Desa, berarti masyarakat harus pulang ke daerahnya sebanyak tiga kali belum dihitung jika ada mudik lebaran. Misal,  untuk masyarakat di Aceh untuk tarif sekali jalan dengan naik pesawat satu orang paling mahal Rp. 1.500.000,- jika ada 4 kali harus pulang pergi ke daerah asal dan daerah rantau berarti ada 8 kali perjalanan, jika dihitung maka satu orang akan menghabiskan biaya 8xRp. 1.500.000 = Rp.12.000.000,-, jika dalam satu keluarga ada 4 orang yang harus pulang maka seluruh biaya yang dikeluarkan adalah 4 x Rp.12.000.000,- = Rp. 48.000.000,-, ini hanya untuk uang transport belum uang lain-lainnya seperti oleh-oleh untuk orang dirumah, tentunya semakin jauh daerah asal dari daerah masyarakat merantau akan menambah biaya untuk ikut berpartisipasi dalam Pilkada. Sudah rela-rela pulang untuk ikut Pilkada ternyata calon yang dipilih korupsi, semakin membuat masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
c.        Karena adanya sistem politik yang terpusat di masing-masing Dewan Pimpinan Pusat (DPP) suatu partai, terkadang calon yang diajukan oleh suatu parpol belum tentu calon yang favorit atau dikenal oleh masyarakat sekitar. Banyak pelaksanaan Pilkada yang calonnya belum banyak dikenal oleh masyarakat, sehingga hal ini juga membuat masyarakat enggan untuk ikut berpartisipasi, walaupun ikut berpatisipasi kebanyak mereka tidak melihat sosok calonnya namun lebih banyak disebabkan siapa parpol yang mengusungnya.
2)         Biaya pelaksanaan Pilkada menjadi mahal. Yang pertama tentunya anggaran pelaksanaan Pilkada yang dikoordinasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiap-tiap daerah, dari biaya cetak surat suara, pendistribusian surat suara. Kedua, biaya kampanye masing-masing calon kepala daerah, mulai dari pemasangan umbul-umbul, pasang iklan di media massa, kampanye terbuka, biaya akomodasi peserta kampanye dan terakhir biaya akomodasi saksi-saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Dampak dari mahalnya biaya Pilkada, ada indikasi banyak biaya kampanye yang disinyalir hasil korupsi, penyalahgunaan kekuasaan terutama pada pasangan calon incumbent, sponsor dari mafia, makelar dan para pengusaha yang tentunya mempunyai kepentingan akan proyek-proyek di daerah tersebut. Selain itu juga biaya untuk pengamanan Pilkada, juga fantastis jumlahnya.
3)         Hasil akhir keputusan KPU mengenai pasangan calon kepala daerah yang memenangi Pilkada, tiap kali diwarnai dengan bentrokan antar pendukung calon kepala daerah sehingga banyak masyarakat yang dirugikan dan tentunya banyak juga fasilitas umum yang rusak. Berikut kerusuhan yang disebabkan karena Pilkada.

Berikut beberapa ulasan mengenai biaya yang terkait dengan Pilkada di berbagai daerah tahun 2013 :
1)         Proses pemilihan calon Wali Kota Malang yang pemungutan suaranya dilangsungkan pada 23 Mei 2013, untuk kegiatan sosialisasi dari masing-masing calon jika di total menghabiskan dana Rp. 22,5 miliar., pengeluaran untuk sosialisasi meliputi belanja poster dan baliho. Sumber : www.tempo.co .
2)         Pengajuan dana pelaksanaan pemilihan calon Wali Kota Bandung sebesar Rp. 55,5 miliar  untuk dua putaran dengan rincian Rp.39,8 miliar untuk alokasi putaran pertama, dan Rp.16 miliar untuk alokasi putaran kedua. Sumber : www.tempo.co.
3)         Hibah dari Pemkot Makasar sebesar Rp. 41 miliar yang diberkan kepada KPU Kota Makasar untuk mendukung pelaksanaan pemilihan calon Wali Kota Makasar, dan dana Rp. 7 miliar untuk biaya pengamanan Pilwalkot. Sumber : www.tempo.co.
4)         Ulasan dari Seknas Fitra, bahwa biaya Pilkada untuk Kabupaten/Kota Rp. 25 miliar, Pilkada Provinsi Rp.100 miliar. Jadi untuk kesulurahan biaya Pilkada di Indonesia diperlukan sekitar Rp. 17 Triliun. Sumber : www.tempo.co jumlah yang sangat fantastis tentunya. Namun jumlah rupiah ini, hanya dana untuk persiapan pemilihan yang dikelola oleh KPU, lalu jika dihitung dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing calon tentunya untuk proses Pilkada di Indonesia jumlahnya lebih dari Rp. 17 triliun.
Dengan dana yang sangat fantastis, lantas pemimpin seperti apa yang sudah dihasilkan? Banyak pihak yang menyatakan bahwa Pilkada dengan biaya yang sangat mahal hanya akan melahirkan seorang koruptor. Biaya yang besar, memotivasi untuk mengembalikan modal, ujung-ujungnya APBN atau APBD di korupsi.

Pemberitaan korupsi pejabat daerah :
1)         Dikutip dari www.tempo.co bahwa Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Dari mulai gubernur, Wali Kota, Bupati hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang terlibat korupsi. Dan untuk pimpinan daerah ada sekita 277 gubernur, Wali Kota atau Bupati, data ini tentunya akan terus bertambah, seperti yang kita dengan bersama di media, selama 2013 banyak pejabat daerah yang diperiksa KPK maupun dieksekusi oleh Kejaksaan untuk dijebloskan ke penjara.
2)         Dikutip dari www.riaupos.co 25 Desember 2012, menulis ada 290 Kepala Daerah terlibat kasus korupsi.

Dengan biaya yang mahal mencapai angka triliunan rupiah namun menghasilkan pemimpin yang korup, yakinkah Pilkada secara langsung patut untuk dipertahankan?
Keputusan ini dikembalikan ke masyarakat, namun dengan melihat partisipasi masyarakat yang kurang dari 80% di masing-masing Pilkada sesungguhnya masyarakat secara tidak langsung menolak Pilkada langsung, tinggal keputusan politik untuk memutuskan apakah Pilkada langsung patut untuk diteruskan atau tidak.
Bagi penggiat demokrasi di Indonesia, lihatlah kenyataan yang ada, demokrasi yang kalian agung-agungkan hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Alasan apa lagi yang akan kalian pertahankan untuk tetap berlangsungnya Pilkada secara langsung.
Indonesia sudah punya Pancasila, sebagai dasar ideologi bangsa, musyawarah untuk mufakata adalah demokrasi sesungguhnya yang cocok dengan Indonesia. Jangan tukar Pancasila dengan demokrasi ala barat atau ala Amerika Serikat, Pancasila adalah Pancasila, Pancasila berbeda dengan demokrasi, namun Pancasila juga mengandung unsur demokrasi, demokrasi kerakyatan bukan demokrasi ala kapitalis.

Jogjakarta, 29 Mei 2013
Mohamad Nur Afif
*seorang yang sedang belajar..

No comments:

Post a Comment