Di
tengah tahun 2013, banyak pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur dan
Bupati/Walikota dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Pilkada yang
dilaksanakan setelah orde baru (Orba) tumbang, tepatnya setelah gerakan
reformasi berubah dari pemilihan yang dilaksanakan oleh anggota DPRD Tingkat I
untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta anggota DPRD Tingkat II untuk
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati / Walikota dan Wakil Walikota menjadi
pemilihan yang dilaksanakn secara langsung oleh masyarakat.
Dengan
adanya Pilkada secara langsung merupakan prestasi tertinggi Indonesia dalam
berdemokrasi. Negara yang besar dengan penduduk nomor lima terbesar di
Indonesia, terdiri dari berbagai daerah kepulauan mampu menyelenggarakan
Pilkada secara langsung. Jika melihat secara kasat mata hal ini merupakan suatu
kebanggaan yang membuat kita bangga bahwa Indonesia dapat meniru negara yang
dianggap paling demokrasi di dunia yakni Amerika Serikat. Ditengah kebanggan
dan hingar bingar merayakan kebangkitan demokrasi di Indonesia ternyata Pilkada
secara langsung di satu sisi menjadi suatu prestasi namun di sisi lain
merupakan bentuk swastanisasi birokasi/kapitalisasi birokrasi dan akhir-akhir
ini diduga menjadi penyebab makin maraknya kasus korupsi.
Lalu
kenapa muncul wacana, bahwa masih layakkah Pilkada secara langsung untuk
dipertahankan.
1)
Berdasarkan
sejumlah pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah, partisipasi masyarakat kurang.
Pilkada secara langsung mungkin oleh para pencetusnya di ajukan untuk memberi
kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sesuai dengan hati
nuraninya, namun kenyatannya justru partisipasi masyarakat semakin menurun.
Menurunnya partisipasi masyarakat tentunya ada berbagai alasan, berikut alasan
yang ada di masyarakat terkait pelaksanaan Pilkada :
a. Isu korupsi yang sedang gencar
diberitakan di media yang banyak menyeret para pejabat dan partai politik
(parpol) ikut andil dalam menurunnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan
Pilkada. Banyak masyarakat yang merasa dikhianati oleh pemimpin dan parpoll
yang dia pilih dalam Pemilu dan Pilkada dampaknya masyarakat menjadi malas
dalam berpartisipasi pada pelaksanaan Pilkada. Masyarakat yang tidak ikut
berpartisipasi biasanya menamakan dirinya Golongan Putih (Golput);
b. Pelaksanaan Pemilu dan
pelaksanaan kepala pemerintahan yang dilaksanakan dalam waktu berbeda dari
mulai Pemilihan Presiden (Pilpres), Pilkada Gubenur dan Wakil Gubernur, Pilkada
Bupati dan Wakil Bupati, Pilkada Walikota dan Wakil Walikota, dan terakhir
adalah pemilihan Kepala Desa bahkan ada RT dan RW yang dipilih langsung oleh
masyarakat, hanya Camat yang tidak dipilih langsung. Pelaksanaan yang tidak
serentak, akan berdampak pada masyarakat yang sedang merantau, jika mereka
memaksakan pulang ke daerah asal sesuai dengan kartu tanda penduduk (KTP) biaya
mudik akan semakin mahal dan tentunya juga pengurusan izin bagi mereka yang
bekerja menjadi pegawai atau karyawan. Jika didaerah asalnya dalam satu tahun
ada tiga bentuk pemilihan kepala daerah, seperti pemilihan Gubernur,
Bupati/Wali Kota dan Kepala Desa, berarti masyarakat harus pulang ke daerahnya
sebanyak tiga kali belum dihitung jika ada mudik lebaran. Misal, untuk masyarakat di Aceh untuk tarif sekali
jalan dengan naik pesawat satu orang paling mahal Rp. 1.500.000,- jika ada 4
kali harus pulang pergi ke daerah asal dan daerah rantau berarti ada 8 kali
perjalanan, jika dihitung maka satu orang akan menghabiskan biaya 8xRp.
1.500.000 = Rp.12.000.000,-, jika dalam satu keluarga ada 4 orang yang harus
pulang maka seluruh biaya yang dikeluarkan adalah 4 x Rp.12.000.000,- = Rp.
48.000.000,-, ini hanya untuk uang transport belum uang lain-lainnya seperti
oleh-oleh untuk orang dirumah, tentunya semakin jauh daerah asal dari daerah
masyarakat merantau akan menambah biaya untuk ikut berpartisipasi dalam
Pilkada. Sudah rela-rela pulang untuk ikut Pilkada ternyata calon yang dipilih
korupsi, semakin membuat masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
c.
Karena
adanya sistem politik yang terpusat di masing-masing Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
suatu partai, terkadang calon yang diajukan oleh suatu parpol belum tentu calon
yang favorit atau dikenal oleh masyarakat sekitar. Banyak pelaksanaan Pilkada
yang calonnya belum banyak dikenal oleh masyarakat, sehingga hal ini juga
membuat masyarakat enggan untuk ikut berpartisipasi, walaupun ikut
berpatisipasi kebanyak mereka tidak melihat sosok calonnya namun lebih banyak
disebabkan siapa parpol yang mengusungnya.
2)
Biaya
pelaksanaan Pilkada menjadi mahal. Yang pertama tentunya anggaran pelaksanaan
Pilkada yang dikoordinasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiap-tiap daerah,
dari biaya cetak surat suara, pendistribusian surat suara. Kedua, biaya
kampanye masing-masing calon kepala daerah, mulai dari pemasangan umbul-umbul,
pasang iklan di media massa, kampanye terbuka, biaya akomodasi peserta kampanye
dan terakhir biaya akomodasi saksi-saksi di tempat pemungutan suara (TPS).
Dampak dari mahalnya biaya Pilkada, ada indikasi banyak biaya kampanye yang
disinyalir hasil korupsi, penyalahgunaan kekuasaan terutama pada pasangan calon
incumbent, sponsor dari mafia, makelar dan para pengusaha yang tentunya
mempunyai kepentingan akan proyek-proyek di daerah tersebut. Selain itu juga
biaya untuk pengamanan Pilkada, juga fantastis jumlahnya.
3)
Hasil
akhir keputusan KPU mengenai pasangan calon kepala daerah yang memenangi
Pilkada, tiap kali diwarnai dengan bentrokan antar pendukung calon kepala
daerah sehingga banyak masyarakat yang dirugikan dan tentunya banyak juga
fasilitas umum yang rusak. Berikut kerusuhan yang disebabkan karena Pilkada.
Berikut
beberapa ulasan mengenai biaya yang terkait dengan Pilkada di berbagai daerah
tahun 2013 :
1)
Proses
pemilihan calon Wali Kota Malang yang pemungutan suaranya dilangsungkan pada 23
Mei 2013, untuk kegiatan sosialisasi dari masing-masing calon jika di total
menghabiskan dana Rp. 22,5 miliar., pengeluaran untuk sosialisasi meliputi
belanja poster dan baliho. Sumber : www.tempo.co
.
2)
Pengajuan
dana pelaksanaan pemilihan calon Wali Kota Bandung sebesar Rp. 55,5 miliar untuk dua putaran dengan rincian Rp.39,8
miliar untuk alokasi putaran pertama, dan Rp.16 miliar untuk alokasi putaran
kedua. Sumber : www.tempo.co.
3)
Hibah
dari Pemkot Makasar sebesar Rp. 41 miliar yang diberkan kepada KPU Kota Makasar
untuk mendukung pelaksanaan pemilihan calon Wali Kota Makasar, dan dana Rp. 7
miliar untuk biaya pengamanan Pilwalkot. Sumber : www.tempo.co.
4)
Ulasan
dari Seknas Fitra, bahwa biaya Pilkada untuk Kabupaten/Kota Rp. 25 miliar,
Pilkada Provinsi Rp.100 miliar. Jadi untuk kesulurahan biaya Pilkada di
Indonesia diperlukan sekitar Rp. 17 Triliun. Sumber : www.tempo.co jumlah yang sangat fantastis
tentunya. Namun jumlah rupiah ini, hanya dana untuk persiapan pemilihan yang
dikelola oleh KPU, lalu jika dihitung dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh
masing-masing calon tentunya untuk proses Pilkada di Indonesia jumlahnya lebih
dari Rp. 17 triliun.
Dengan
dana yang sangat fantastis, lantas pemimpin seperti apa yang sudah dihasilkan? Banyak
pihak yang menyatakan bahwa Pilkada dengan biaya yang sangat mahal hanya akan
melahirkan seorang koruptor. Biaya yang besar, memotivasi untuk mengembalikan
modal, ujung-ujungnya APBN atau APBD di korupsi.
Pemberitaan
korupsi pejabat daerah :
1)
Dikutip
dari www.tempo.co bahwa Kementerian Dalam
Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat
kasus korupsi. Dari mulai gubernur, Wali Kota, Bupati hingga anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang terlibat korupsi. Dan untuk pimpinan daerah ada
sekita 277 gubernur, Wali Kota atau Bupati, data ini tentunya akan terus
bertambah, seperti yang kita dengan bersama di media, selama 2013 banyak
pejabat daerah yang diperiksa KPK maupun dieksekusi oleh Kejaksaan untuk
dijebloskan ke penjara.
2)
Dikutip
dari www.riaupos.co 25 Desember 2012, menulis
ada 290 Kepala Daerah terlibat kasus korupsi.
Dengan
biaya yang mahal mencapai angka triliunan rupiah namun menghasilkan pemimpin
yang korup, yakinkah Pilkada secara langsung patut untuk dipertahankan?
Keputusan
ini dikembalikan ke masyarakat, namun dengan melihat partisipasi masyarakat
yang kurang dari 80% di masing-masing Pilkada sesungguhnya masyarakat secara
tidak langsung menolak Pilkada langsung, tinggal keputusan politik untuk
memutuskan apakah Pilkada langsung patut untuk diteruskan atau tidak.
Bagi
penggiat demokrasi di Indonesia, lihatlah kenyataan yang ada, demokrasi yang
kalian agung-agungkan hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Alasan apa
lagi yang akan kalian pertahankan untuk tetap berlangsungnya Pilkada secara
langsung.
Indonesia
sudah punya Pancasila, sebagai dasar ideologi bangsa, musyawarah untuk mufakata
adalah demokrasi sesungguhnya yang cocok dengan Indonesia. Jangan tukar
Pancasila dengan demokrasi ala barat atau ala Amerika Serikat, Pancasila adalah
Pancasila, Pancasila berbeda dengan demokrasi, namun Pancasila juga mengandung
unsur demokrasi, demokrasi kerakyatan bukan demokrasi ala kapitalis.
Jogjakarta,
29 Mei 2013
Mohamad
Nur Afif
*seorang
yang sedang belajar..
No comments:
Post a Comment