Pages

Sunday, 20 April 2014

Jalan-jalan ke Nangroe Aceh Darussalam

Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan mengenai pengalaman saya pribadi ke Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Perjalanan ini merupakan perjalanan pertama kali ke Provinsi yang dikenal dengan sebutan “serambi mekkah”. Perjalanan saya ke NAD dengan menggunakan pesawat udara dari Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta) di Tangerang menuju ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) di Banda Aceh, Ibukota NAD. Jika menggunakan pesawat udara, ada pilihan langsung dari Bandara Soetta ke Bandara SIM, dan ada yang transit terlebih dahulu di Bandara Kuala Namu, Medan. Setiba di Bandara SIM, saya dijemput oleh pihak hotel, karena kebetulan pas booking hotel minta sekalian dijemput. Perjalanan dari Bandara SIM ke pusat kota Banda Aceh kurang lebih 30 menit. Ketika mengudara dan masuk ke wilayah udara NAD kita dapat melihat daratan Aceh yang hampir dari garis pantai tidak terdapat pegunungan sehingga kita dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya tsunami yang meluluh lantakkan Banda Aceh. Sesampai di Banda Aceh, istirahat sebentar di hotel, kemudian dilanjutkan ke Masjid Baiturahhman yang merupakan Masjid Raya di Banda Aceh yang selamat dari terjangan tsunami meskipun kawasan sekitarnya rusak parah.
Berikut tampak Masjid Baiturahhman, Banda Aceh dari depan. Pada sore hari kawasan depan masjid penuh dengan keluarga yang bermain-main sembari mengabadikan moment yang ada. Di sekitar Masjid terdapat tempat parkir khusus bagi tamu dan juga terdapat pasar tradisional. Bagi tamu wanita yang akan berkunjung ke Masjid ini diharapkan memakai pakaian yang sesuai dengan syariah (intinya menutupi aurat dan tidak menarik nafsu lawan jenis.
 
Berikut alun – alun Kota Banda Aceh, pada saat saya ke sana sedang musim kampanye sehingga ramai dengan bendera partai politik peserta pemilu 2014. Disekitar alun – alun ini terdapat deretan pertokoan. Tampak foto terdapat kendaraan transportasi khas daerah Sumatera pada umumnya yakni Bentor yang merupakan singkatan dari Bejak Motor.


Jalan – jalan ke suatu daerah kurang sempurna jika tidak mencicipi makanan khas daerah tersebut. Pada kesempatan pertama makanan yang dicicipi adalah mie aceh dikedai razali, kedai ini dekat dengan alun-alun kurang lebih 500 km, jika bingung minta diantar ke tukang bentor saja. Bagi yang mencari penginapan di Banda Aceh, saran saya mencari yang dekat dengan alun-alun atau pasar rek, selain mudah mencari makanan juga gampang mencari oleh-oleh khas Aceh.

Makanan kedua yang dicicipi adalah sejenis sop kambing atau nama lainnya yang jelas dominan daging kambing, mungkin karena masyarakat Aceh ada yang keturunan Arab maka tidak heran jika makanan olahan daging kambing menjadi  menu khasnya.
 


Makanan ketiga yang dicicipi adalah ayam goreng tangkap, jika mendengar namanya maka yang terbayang dipikiran kita bahwa ayamnya merupakan ayam yang baru ditangkap kemudian di goreng. Ternyata bukan seperti itu, ayam goreng tangkap sama dengan ayam goreng lainnya bukan ayam tangkapan, yang membedakan dengan ayam goreng pada umumnya adalah pada ayam goreng tangkap ditaburi dedaunan kecil (tidak tahu namanya) yang berwarna hijau dan ikut digoreng serta dapat dimakan.

Mungkin tidak akan sempurna perjalanan ke NAD tanpa mengunjungi sisa-sisa Tsunami di Aceh. Tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah di Kapal Tenaga Listrik milik PLN yang terdampar ke tengah kota dan kapal ini menjadi bukti kekuasaan Allah SWT yang ditunjukan kepada masyarakat Aceh.
Kapal ini berbobot berat ber ton-ton. Sebelum tsunami, kapal ini berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mampu menghasilkan daya listrik yang mampu mengaliri seluruh Banda Aceh. Jarak dari tempat terdampar dengan tempat awal 10 km lebih, sehingga dapat kita bayangkan bagaimana dahsyatnya tsunami ada waktu itu. Dalam rangka memperingati tsunami, kapal ini tetap dibiarkan dan dijadikan sebagai museum, sedangkan mesin pembangkit listriknya sudah diambil oleh pihak PLN. Konon katanya biaya untuk menarik kapal ini ke lautan setara dengan biaya belinya sehingga pilihan terakhir adalah tetap membiarkannya di tengah kota.

Dari atas kapal ini, kita dapat melihat daratan Banda Aceh yang tampak tidak ada gunung dari arah pantai sehingga kita dapat membayangkan besarnya air laut yang menerjang daratan.
Di area museum kapal PLTD ini juga terdapat monumen yang berisikan informasi mengenai kampung-kampung yang diterjang tsunami dan daftar nama warganya yang meninggal dunia.
Selain kapal PLTD juga terdapat kapal kayu yang berada diatas rumah warga. 

 Sekian dulu cerita jalan-jalan di Acehnya, semoga dilain waktu dapat menulis tulisan tentang Aceh, tidak banyak hanya sedikit cerita.
Semoga tulisan diatas bermanfaat untuk anda sekalian,,aamiin


No comments:

Post a Comment