Pages

Wednesday, 6 March 2013

Makna Aswaja Menurut Ulama Sunda

Di pegunungan selatan Garut nan dingin, tepatnya di kampung Cisurupan, ada seorang ulama yang produktif menulis kitab. KH Muhammad Nuh Addawami, demikian nama ulama tersebut.

Wajahnya yang sudah berkerut dan kulitnya yang sawo agak kehitam-hitaman, memberi karakter tersendiri pada ulama yang akrab dipanggil “Akang” tersebut. Sudah lebih dari 50 kitab ia tulis, dengan bahasa Sunda, Indonesia, dan bahasa Arab. Bentuk tulisannya macam-macam, ada yang berupa syi’iran, prosa, dan lain-lain.

Nah, pada tulisan pendek ini, saya ingin mengabarkan salah satu karyanya, “Karakteristik Ahlussunnah wal-Jam’ah”. Demikian judulnya.

Tak begitu tebal kitab tersebut, hanya 88 halaman. Cetakannya pun sederhana, fotokopian; bukan seperti kitab-kitab ulama Timur Tengah yang dijilid kuat dan pakai kertas mewah! Namun, saya terpesona dengan karya pendiri pesantren Nurul Huda tersebut.

Dalam buku tersebut, tertera tanggal selesai penulisan, 27 Jumadi Tsani 1429. Saya tidak tahu, almanak Masehinya tanggal berapa. Dalam kitab tersebut, ia menulis tentang karakteristik dan ciri-ciri Aswaja, yang saya belum baca di kitab-kitab. Maklum saya belum pernah ke mana-mana. Saya hanya tinggal di pedesaan Garut, yang namanya tercoreng oleh bupatinya sendiri, Aceng Fikri.

Pertama-tama, Akang menjelaskan arti Aswaja menurut beberapa istilah. Kemudian melanjutkan pada ciri-ciri dan karakteristik Aswaja.

Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa Aswaja pada prinsipnya adalah orang-orang yang menerima risalah Rasulullah SAW dengan baik dan benar, secara kaffah, menyeluruh; bukan hanya di bidang aqidah atau teologi saja seperti pendapat sebahagiaan orang.

Menurut Akang Nuh, untuk zaman sekarang ini akan sulit sekali menerima risalah Rasul, karena zamannya berbeda. Dulu, apabila datang suatu masalah, mereka bisa bertanya langsung kepada Junjungannya. Ini fasilitas para sahabat Rasul, yang kita tidak pernah dapat. Sedangkan zaman sekarang, orang-orang yang menerima risalah itu haruslah cerdas dan harus memahami “sendiri” Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Menurutnya, karakteristik dari penerima risalah Rasul atau Aswaja yang paling esensil adalah “at-tawasuth”, yakni tengah-tengah. Orangnya disebut “mutawasith”, penengah.

Seorang mutawasith, penengah, wajib kiranya menyimpan enam prinsip ini, ar-ri’ayah (kepemimpinan), dzulhimmatil’aliyah (idealistis), al-mujahadah (patriotis), riyadlotunnafsi (melatih jiwa dengan latihan), al-akhlakul karimah (akhlah luhur), hubbul’isyatil akhiroh (lebih mencintai kehidupan akhirat).

Keenam prinsip tersebut dijelaskan dengan singkat dan jelas oleh Akang. Ia menjelaskan satu per satu sehingga para pembaca bisa dengan baik dan mengerti ketika membacanya. Selain itu, ia juga menyertakan dalil-dalil seperti hadits dan ayat-ayat Al-Quran sebagai penguat, sehingga para pembaca tidak ragu lagi karena ada dalil yang memperkuatnya.
Namun, bagi sebagian pembaca, khususnya orang yang tidak pernah nyantri, akan sulit membaca karya ini. Sebab, Akang menulisnya dengan menggunakan huruf Pego, meski bahasa yang dipakai bahasa Indonesia.

Menurut saya, si Akang ini sangatlah mencintai Aswaja, dan NU! (Pembaca yang budiman, maaf pakai tanda seru. Tanda seru di sini penting sekali).

Bagaimana tidak, jika mengobrol di manapun, ceramah acara apapun, ia pasti menyebut Aswaja dan NU. Inilah sebabnya, teman-teman santri sering menulis namanya dengan “NU-h”, dengan “N” dan “U” kapital, tapi dengan “H” kecil, dan diantaranya ada “-“ karena jika ngobrol.  Betul kan tanda seru di atas penting?

Tapi lebih penting lagi, amat sangat sungguh penting, enam prinsip Aswaja menurut ulama Sunda tersebut, kita taruh dengan baik di hati, agar menjadi pengingat dan menemani tingkah pola kita sehari-hari. “Al-ilmu fis sudur, laysa fis suthur. Ilmu itu di dada, bukan pada kertas.” Bukankah begitu ujar ulama kita terdahulu?

sumber : www.nu.or.id

No comments:

Post a Comment