Di pegunungan selatan Garut nan dingin, tepatnya di kampung
Cisurupan, ada seorang ulama yang produktif menulis kitab. KH Muhammad
Nuh Addawami, demikian nama ulama tersebut.
Wajahnya yang sudah
berkerut dan kulitnya yang sawo agak kehitam-hitaman, memberi karakter
tersendiri pada ulama yang akrab dipanggil “Akang” tersebut. Sudah lebih
dari 50 kitab ia tulis, dengan bahasa Sunda, Indonesia, dan bahasa
Arab. Bentuk tulisannya macam-macam, ada yang berupa syi’iran, prosa,
dan lain-lain.
Nah, pada tulisan pendek ini, saya ingin mengabarkan salah satu karyanya, “Karakteristik Ahlussunnah wal-Jam’ah”. Demikian judulnya.
Tak
begitu tebal kitab tersebut, hanya 88 halaman. Cetakannya pun
sederhana, fotokopian; bukan seperti kitab-kitab ulama Timur Tengah yang
dijilid kuat dan pakai kertas mewah! Namun, saya terpesona dengan karya
pendiri pesantren Nurul Huda tersebut.
Dalam buku tersebut,
tertera tanggal selesai penulisan, 27 Jumadi Tsani 1429. Saya tidak
tahu, almanak Masehinya tanggal berapa. Dalam kitab tersebut, ia menulis
tentang karakteristik dan ciri-ciri Aswaja, yang saya belum baca di
kitab-kitab. Maklum saya belum pernah ke mana-mana. Saya hanya tinggal
di pedesaan Garut, yang namanya tercoreng oleh bupatinya sendiri, Aceng
Fikri.
Pertama-tama, Akang menjelaskan arti Aswaja menurut
beberapa istilah. Kemudian melanjutkan pada ciri-ciri dan karakteristik
Aswaja.
Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa Aswaja pada
prinsipnya adalah orang-orang yang menerima risalah Rasulullah SAW
dengan baik dan benar, secara kaffah, menyeluruh; bukan hanya di bidang
aqidah atau teologi saja seperti pendapat sebahagiaan orang.
Menurut
Akang Nuh, untuk zaman sekarang ini akan sulit sekali menerima risalah
Rasul, karena zamannya berbeda. Dulu, apabila datang suatu masalah,
mereka bisa bertanya langsung kepada Junjungannya. Ini fasilitas para
sahabat Rasul, yang kita tidak pernah dapat. Sedangkan zaman sekarang,
orang-orang yang menerima risalah itu haruslah cerdas dan harus memahami
“sendiri” Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Menurutnya, karakteristik dari penerima risalah Rasul atau Aswaja yang paling esensil adalah “at-tawasuth”, yakni tengah-tengah. Orangnya disebut “mutawasith”, penengah.
Seorang mutawasith, penengah, wajib kiranya menyimpan enam prinsip ini, ar-ri’ayah (kepemimpinan), dzulhimmatil’aliyah (idealistis), al-mujahadah (patriotis), riyadlotunnafsi (melatih jiwa dengan latihan), al-akhlakul karimah (akhlah luhur), hubbul’isyatil akhiroh (lebih mencintai kehidupan akhirat).
Keenam
prinsip tersebut dijelaskan dengan singkat dan jelas oleh Akang. Ia
menjelaskan satu per satu sehingga para pembaca bisa dengan baik dan
mengerti ketika membacanya. Selain itu, ia juga menyertakan dalil-dalil
seperti hadits dan ayat-ayat Al-Quran sebagai penguat, sehingga para
pembaca tidak ragu lagi karena ada dalil yang memperkuatnya.
Namun, bagi sebagian pembaca, khususnya orang yang tidak pernah
nyantri, akan sulit membaca karya ini. Sebab, Akang menulisnya dengan
menggunakan huruf Pego, meski bahasa yang dipakai bahasa Indonesia.
Menurut
saya, si Akang ini sangatlah mencintai Aswaja, dan NU! (Pembaca yang
budiman, maaf pakai tanda seru. Tanda seru di sini penting sekali).
Bagaimana
tidak, jika mengobrol di manapun, ceramah acara apapun, ia pasti
menyebut Aswaja dan NU. Inilah sebabnya, teman-teman santri sering
menulis namanya dengan “NU-h”, dengan “N” dan “U” kapital, tapi dengan
“H” kecil, dan diantaranya ada “-“ karena jika ngobrol. Betul kan tanda
seru di atas penting?
Tapi lebih penting lagi, amat sangat
sungguh penting, enam prinsip Aswaja menurut ulama Sunda tersebut, kita
taruh dengan baik di hati, agar menjadi pengingat dan menemani tingkah
pola kita sehari-hari. “Al-ilmu fis sudur, laysa fis suthur. Ilmu itu di dada, bukan pada kertas.” Bukankah begitu ujar ulama kita terdahulu?
sumber : www.nu.or.id
No comments:
Post a Comment