]
Solo, NU Online
Nama Al-Wustho mengandung makna tertentu. Menurut Mas Ngabei (M.Ng.) H. Mu’nin Fatoni, salah seorang pengurus masjid, Al-Wustho berarti tengah, atau pertengahan.
Disebut demikian karena besarnya menempati posisi antara, berada di antara dua ukuran, alias berukuran sedang: tidak sebesar Masjid Agung di Keraton Kasunanan Surakarta (Masjid Agung atau Masjid Gede, terletak di seberang Pasar Klewer), tetapi juga tidak sekecil Masjid Kepatihan di kompleks Kepatihan.
Bangunan Al-Wustho, yang dirancang oleh Thomas Karsten dan didirikan tahun 1878-1918, walaupun tampak sebagai arsitektur bangunan Jawa, tetap saja masih terlihat banyak pengaruh gaya kolonial.
Gapura halaman masjid dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Nama Al-Wustho pertama kali diperkenalkan pada 1949 oleh Penghulu Pura Mangkunegaran, Raden Tumenggung KH Imam Rosidi.
Pendirian masjid tersebut diprakarsai oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panatagama. Sebelumnya, masjid ini terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi. Pemindahan ke wilayah Banjarsari dilakukan pada masa Mangkunegara II, dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat Pura Mangkunegaran.
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunegaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunegaran ini terjadi pada saat pemerintahan Mangkunegara VII. Ia menggunakan jasa seorang arsitek dari Prancis untuk mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks Masjid Al-Wustho sekitar 4.200 m2, dengan batas pagar tembok keliling, yang sebagian besar muka berbentuk lengkung. Ada serambi, merupakan ruangan depan masjid dengan saka atau tiang utama sebanyak 18, yang melambangkan umur R.M. Said ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegara. Di serambi ini terdapat beduk yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara. Bangunan maligen (mligi, khusus) dibangun atas prakarsa Mangkunegara V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunegaran.
Sejak pemerintahan Mangkunegara VII, maligen diperkenankan digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Hiasan kaligrafi Al-Quran, yang dapat disaksikan di berbagai tempat (seperti pada pintu gerbang, pada markis atau kuncungan, tiang dan maligen), menjadikan tampilan Al-Wustho cukup menarik dan menimbulkan suasana yang nyaman.
Ruang shalat utama merupakan ruang dalam dengan empat saka guru, tiang utama, dan 12 penyangga pembantu yang berhias kaligrafi Al-Quran. Pawasteren merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat shalat khusus wanita.
Di depan masjid terdapat menara yang dibangun tahun 1926, pada masa Mangkunegara VII. Fungsinya, tentu saja, untuk mengumandangkan adzan agar menggema sampai kejauhan. Pada waktu itu, dibutuhkan tiga hingga empat orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara, untuk menyeru keempat arah yang berbeda.
Kegiatan ritual umat di Masjid Al-Wustho tak pernah putus. Yakni, tempat menjalankan ibadah shalat fardhu, tempat pengajian, dan juga acara-acara keagamaan lain. “Kadang juga digunakan untuk acara perkawinan atau melakukan upacara akad nikah,” ujar Mu’nin Fatoni. Masjid Al-Wustho, yang berdiri di Jalan Kartini, Surakarta, termasuk salah satu masjid yang sudah tua. “Maka tak mengherankan jika masjid tersebut sering dijadikan obyek penelitian,” ujar M. Syaiful Sahri, pengurus masjid.
Bakti Sosial
Dalam rangka memakmurkan masjid, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran ini juga digelar berbagai kegiatan. Pada bulan Ramadhan, misalnya, ada acara berbuka dan sahur bersama, pengajian, dan tadarusan.
Acara makan sahur bersama di masjid ini juga unik. Menurut Syaiful, kegiatan itu awalnya bertujuan untuk membantu para tukang becak yang akan melakukan ibadah puasa. Pada malam hari memang sering tukang becak menginap di sana.“Karena itu, pengurus masjid berinisiatif membantu mereka dengan menyediakan hidangan untuk sahur bersama,” ujar Budi Santosa, juga pengurus masjid.
Menurut dia, bakti sosial sebenarnya tidak hanya dilakukan pada bulan puasa. Pada hari-hari biasa pun, kegiatan serupa sering digelar. Hanya, pada bulan puasa lebih meningkat. “Misalnya, kami juga sering membagi-bagikan sembako kepada masyarakat yang kurang mampu. Terkadang, sembako yang dibagikan itu kami dapatkan dari para jamaah yang berzakat,” Lanjutnya.
Wujud bakti sosial yang lain adalah dibukanya Klinik Dhuafa di masjid tersebut. Klinik yang buka setiap hari itu memang khusus untuk pasien dari keluarga kurang mampu. Karena itu, semua pelayanannya gratis.
Nama Al-Wustho mengandung makna tertentu. Menurut Mas Ngabei (M.Ng.) H. Mu’nin Fatoni, salah seorang pengurus masjid, Al-Wustho berarti tengah, atau pertengahan.
Disebut demikian karena besarnya menempati posisi antara, berada di antara dua ukuran, alias berukuran sedang: tidak sebesar Masjid Agung di Keraton Kasunanan Surakarta (Masjid Agung atau Masjid Gede, terletak di seberang Pasar Klewer), tetapi juga tidak sekecil Masjid Kepatihan di kompleks Kepatihan.
Bangunan Al-Wustho, yang dirancang oleh Thomas Karsten dan didirikan tahun 1878-1918, walaupun tampak sebagai arsitektur bangunan Jawa, tetap saja masih terlihat banyak pengaruh gaya kolonial.
Gapura halaman masjid dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Nama Al-Wustho pertama kali diperkenalkan pada 1949 oleh Penghulu Pura Mangkunegaran, Raden Tumenggung KH Imam Rosidi.
Pendirian masjid tersebut diprakarsai oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panatagama. Sebelumnya, masjid ini terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi. Pemindahan ke wilayah Banjarsari dilakukan pada masa Mangkunegara II, dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat Pura Mangkunegaran.
Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Pura Mangkunegaran.
Pemugaran besar-besaran atas Masjid Mangkunegaran ini terjadi pada saat pemerintahan Mangkunegara VII. Ia menggunakan jasa seorang arsitek dari Prancis untuk mendesain bentuk masjid ini.
Luas kompleks Masjid Al-Wustho sekitar 4.200 m2, dengan batas pagar tembok keliling, yang sebagian besar muka berbentuk lengkung. Ada serambi, merupakan ruangan depan masjid dengan saka atau tiang utama sebanyak 18, yang melambangkan umur R.M. Said ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegara. Di serambi ini terdapat beduk yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara. Bangunan maligen (mligi, khusus) dibangun atas prakarsa Mangkunegara V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunegaran.
Sejak pemerintahan Mangkunegara VII, maligen diperkenankan digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Hiasan kaligrafi Al-Quran, yang dapat disaksikan di berbagai tempat (seperti pada pintu gerbang, pada markis atau kuncungan, tiang dan maligen), menjadikan tampilan Al-Wustho cukup menarik dan menimbulkan suasana yang nyaman.
Ruang shalat utama merupakan ruang dalam dengan empat saka guru, tiang utama, dan 12 penyangga pembantu yang berhias kaligrafi Al-Quran. Pawasteren merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat shalat khusus wanita.
Di depan masjid terdapat menara yang dibangun tahun 1926, pada masa Mangkunegara VII. Fungsinya, tentu saja, untuk mengumandangkan adzan agar menggema sampai kejauhan. Pada waktu itu, dibutuhkan tiga hingga empat orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara, untuk menyeru keempat arah yang berbeda.
Kegiatan ritual umat di Masjid Al-Wustho tak pernah putus. Yakni, tempat menjalankan ibadah shalat fardhu, tempat pengajian, dan juga acara-acara keagamaan lain. “Kadang juga digunakan untuk acara perkawinan atau melakukan upacara akad nikah,” ujar Mu’nin Fatoni. Masjid Al-Wustho, yang berdiri di Jalan Kartini, Surakarta, termasuk salah satu masjid yang sudah tua. “Maka tak mengherankan jika masjid tersebut sering dijadikan obyek penelitian,” ujar M. Syaiful Sahri, pengurus masjid.
Bakti Sosial
Dalam rangka memakmurkan masjid, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran ini juga digelar berbagai kegiatan. Pada bulan Ramadhan, misalnya, ada acara berbuka dan sahur bersama, pengajian, dan tadarusan.
Acara makan sahur bersama di masjid ini juga unik. Menurut Syaiful, kegiatan itu awalnya bertujuan untuk membantu para tukang becak yang akan melakukan ibadah puasa. Pada malam hari memang sering tukang becak menginap di sana.“Karena itu, pengurus masjid berinisiatif membantu mereka dengan menyediakan hidangan untuk sahur bersama,” ujar Budi Santosa, juga pengurus masjid.
Menurut dia, bakti sosial sebenarnya tidak hanya dilakukan pada bulan puasa. Pada hari-hari biasa pun, kegiatan serupa sering digelar. Hanya, pada bulan puasa lebih meningkat. “Misalnya, kami juga sering membagi-bagikan sembako kepada masyarakat yang kurang mampu. Terkadang, sembako yang dibagikan itu kami dapatkan dari para jamaah yang berzakat,” Lanjutnya.
Wujud bakti sosial yang lain adalah dibukanya Klinik Dhuafa di masjid tersebut. Klinik yang buka setiap hari itu memang khusus untuk pasien dari keluarga kurang mampu. Karena itu, semua pelayanannya gratis.
sumber : www.nu.or.id
No comments:
Post a Comment