Solo, NU Online
Banyak faktor yang
menjadikan Masjid Laweyan mengandung nilai historis. Masjid yang telah
berusia lebih dari empat abad ini, merupakan masjid pertama di Kota
Solo.
Masjid Laweyan didirikan pada tahun 1546 M, saat Sultan Hadiwijaya
(Jaka Tingkir) berkuasa di Kerajaan Pajang, jauh sebelum berdirinya Kota
Solo tahun 1745. Hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari
Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun 1763.
Nama masjid diambil dari nama daerah didirikannya, yaitu Laweyan,
yang letaknya hanya sekitar tiga km dari pusat Kerajaan Pajang di masa
lampau. Laweyan sendiri sekarang masuk ke dalam wilayah Kota Surakarta,
tepatnya di Dusun Belukan Kelurahan Pajang Kecamatan Laweyan. Masjid
yang terletak di kampung batik Laweyan ini juga memiliki kontribusi yang
cukup besar dalam penyebaran Islam di Surakarta.
Menurut Babad Tanah Jawi, berdirinya masjid tersebut tak lepas dari
salah seorang pendakwah yang bernama Ki Ageng Anis (ada yang menyebutnya
Henis, sedangkan di makam tertulis Ngenis). Pada tahun 1540 M, ia mulai
bermukim di Laweyan.
Di masjid itu ia mengembangkan Islam, dibantu oleh Ki Beluk, seorang
pendeta Hindu yang memeluk Islam. Paduan antara budaya Hindu dan Islam
inilah yang kemudian memberi corak tersendiri pada bangunan Masjid
Laweyan.
Wujud akulturasi budaya Islam-Hindu sangat terlihat pada arsitektur
bangunannya beserta ornamen yang menghiasi. Memang dulunya bangunan
tersebut merupakan pura milik Ki Beluk.
Dengan pendekatan damai dan kemuliaan sifat Ki Ageng Anis, Ki Beluk
memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah menjadi
langgar, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam,
bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut
yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak
pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu
keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai
Kampung Belukan.
Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada
umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) dan
serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Serambi
kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan serambi kiri
merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.
Salah satu peninggalan unik di Masjid Laweyan yang sering menjadi
sasaran pengunjung adalah mata air sumur yang berada di sekitar kompleks
masjid. Konon sumur tersebut muncul dari injakan kaki Sunan Kalijaga.
Hingga saat ini airnya tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau.
Selain itu juga ada tumbuhan langka pohon Nagasari yang berusia lebih
dari 500 tahun.
Saat ini pemeliharaan masjid justru lebih didominasi masyarakat
sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Meski Masjid Laweyan
merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, ritual tradisi budaya
keraton jarang digelar di sana.
sumber : www.nu.or.id
No comments:
Post a Comment