Pages

Monday 4 March 2013

Masjid Laweyan, Perpaduan Arsitek Islam-Hindu

Solo, NU Online

Banyak faktor yang menjadikan Masjid Laweyan mengandung nilai historis. Masjid yang telah berusia lebih dari empat abad ini, merupakan masjid pertama di Kota Solo.
Masjid Laweyan didirikan pada tahun 1546 M, saat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di Kerajaan Pajang, jauh sebelum berdirinya Kota Solo tahun 1745. Hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun 1763.
Nama masjid diambil dari nama daerah didirikannya, yaitu Laweyan, yang letaknya hanya sekitar tiga km dari pusat Kerajaan Pajang di masa lampau. Laweyan sendiri sekarang masuk ke dalam wilayah Kota Surakarta, tepatnya di Dusun Belukan Kelurahan Pajang Kecamatan Laweyan. Masjid yang terletak di kampung batik Laweyan ini juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam penyebaran Islam di Surakarta.
Menurut Babad Tanah Jawi, berdirinya masjid tersebut tak lepas dari salah seorang pendakwah yang bernama Ki Ageng Anis (ada yang menyebutnya Henis, sedangkan di makam tertulis Ngenis). Pada tahun 1540 M, ia mulai bermukim di Laweyan.
Di masjid itu ia mengembangkan Islam, dibantu oleh Ki Beluk, seorang pendeta Hindu yang memeluk Islam. Paduan antara budaya Hindu dan Islam inilah yang kemudian memberi corak tersendiri pada bangunan Masjid Laweyan.
Wujud akulturasi budaya Islam-Hindu sangat terlihat pada arsitektur bangunannya beserta ornamen yang menghiasi. Memang dulunya bangunan tersebut merupakan pura milik Ki Beluk.
Dengan pendekatan damai dan kemuliaan sifat Ki Ageng Anis, Ki Beluk memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah menjadi langgar, seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan.
Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.
Salah satu peninggalan unik di Masjid Laweyan yang sering menjadi sasaran pengunjung adalah mata air sumur yang berada di sekitar kompleks masjid. Konon sumur tersebut muncul dari injakan kaki Sunan Kalijaga. Hingga saat ini airnya tidak pernah kering meskipun pada musim kemarau. Selain itu juga ada tumbuhan langka pohon Nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun.
Saat ini pemeliharaan masjid justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, ritual tradisi budaya keraton jarang digelar di sana.

sumber : www.nu.or.id

No comments:

Post a Comment