Pages

Thursday, 19 December 2013

Golongan Putih dalam Pilkada/Pemilu

Dalam sebuah skripsi yang ditulis oleh Irene Butar-Butar dengan judul "Fenomena Golongan Putih Dikalangan Masyarakat" dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (link download e-book) bahwa yang dimaksud dengan golongan putih yang selanjutnya disebut Golput adalah orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum. Golput yang disebut juga 'No Voting Decision' apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara.
Menjelang pesat demokrasi di Indonesia yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Apri 2014 sesuai dengan Tahapan Pemilu yang ditetapkan oleh KPU bahwa isu Golput semakin tinggi sebagaimana diberitakan atau didiskusikan di media massa bahkan MUI Pusat pun sampai mengeluarkan fatwa bahwa golput adalah haram, meskipun demikian ternyata fatwa bahwa golput haram banyak organisasi Islam di Indonesia yang tidak sependapat, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas’udi.
Seputar isu Golput ini banyak pihak atau pengamat politik yang menyatakan bahwa faktor yang banyak mempengaruhi masyarakat untuk Golput yakni karena hasil pemilu yang mengecewakan masyarakat antara lain adanya Wakil Rakyat dan Pimpinan Daerah yang terlibat skandal korupsi. Pendapat saya ada yang berbeda dengan pendapat para pengamat politik mungkin hanya menambahkan pendapat yang sudah ada.
Menurut saya, banyaknya masyarakat yang Golput selain karena produk pilkada/pemilu yang diberbentuk Wakil Rakyat dan Pimpinan Daerah yang korupsi juga karena mahalnya biaya untuk berpartisipasi dalam Pilkada/Pemilu.
Di suatu daerah di Indonesia, dalam 1 tahun terdapat 3 kali pemilihan, ada Pemilihan Kepala Desa (Kades), Pemilihan Bupati/Walikota, kemudian Pemilihan Gubernur. Jika masyarakat di daerah tersebut merantau, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk berpartisipasi dalam 3 pemilihan tersebut apalagi penyelenggaraanya pada bulan yang berbeda. Contoh (hanya ilustrasi saja) ada wargaJawa Timur yang merantau ke Jakarta, kebetulan KTP masih berdomisili di Jawa Timur, misal pelaksanaan Pemilihan Kades pada Februari 2013, Pemilihan Bupati/Walikota pada bulan Juni 2013, Pemilihan Gubernur Agustus 2013. Jika warga tersebut pulang ke kampungnya untuk berpartisipasi berapa biaya yang harus ditanggung? kemudian ditambah ada mudik lebaran sehingga ada 4 kali kemungkinan dia pulang ke kampng halamannya.
Contoh perhitungan biaya pulang kampung untuk 1 warga ke Jawa Timur, untuk satu kali perjalanan misalnya menghabiskan Rp.500.000,- berarti jika 4 kali pulang maka biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.500.000 x (4 x 2) = Rp. 4.000.000,-. Jika pulang bersama suami istri maka Rp. 4.000.000,- x 2 = Rp. 8.000.000,-. Sedangkan biaya tersebut dibandingkan dengan penghasilan per tahun berapa persennya, belum kalau pulang membawa oleh-oleh atau pecingan untuk keponakan. Apakah penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU sudah memikirkan hal tersebut?
Menurut saya harus ada solusi, apakah akan selamanya pemilihan di Indonesia itu dengan cara manual (nyoblos kertas ditempat dimana KTP / ID Kependudukan kita didaftarkan)? Barangkali kita harus mencoba e-voting sehingga untuk memilih tidak harus di tempat KTP / ID Kependudukan kita didaftarkan. Misalnya di Jakarta ada tempat khusus perwakilan untuk pemilihan bagi warga Jawa Timur, jadi KTP/ ID Kependudukan kita didaftarkan terlebih dahulu kemudian dapat PIN yang akan digunakan untuk registrasi saat akan mencoblos, sehingga pesta rakyat tetap terselenggara meskipun berpartisipasinya tidak hadir ditempat.

No comments:

Post a Comment