Tahun
2013 diprediksi sebagai tahun politik, ajang pemanasan menghadapi tahun 2014.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan
partai politik dalam bertarung di 2014. Perang terbuka 2014 yang lazimnya
dimulai dari Pemilihan Umum (Pemilu) kemudian diikuti dengan Pemilihan Presiden
(Pilpres) sepertinya di 2013 sudah dimulai dari pertengahan tahun.
Deklarasi
Wiranto dan Harry Tanoe Sudibyo sebagai pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden (Capres dan Cawapres) dari Partai Hanura menjadi awal dimulainya
pertarungan menuju 2014. Sebenarnya bagi saya pribadi tidak ada masalah suatu
partai politik mendeklarasikan tokohnya untuk dijadikan Capres karena itu
adalah hak politik dari masing-masing partai politik, namun dengan
pendeklarasian Wiranto – HT telah banyak menimbulkan dugaan bahkan analisa
politik dari sejumlah pengamat politik, bagi saya pribadi pendeklarasian ini
cukup berani.
Bukan
berarti meremehkan duet Wiranto – HT sebagai pasangan Capres dan Cawapres namun
perlu dilihat juga latar belakang parpol dan ketokohan pasangan ini. Sejak
Pilpres secara langsung belum ada pasangan Capres dan Cawapres yang diusung
oleh satu parpol mesti berkoalisi atau menjari pasangan dari luar parpolnya
jadi deklarasi ini sungguh berani.
Lantas
kenapa deklarasi Wiranto – HT tetap muncul, meskipun dikalangan internal Partai
Hanura ada kubu yang menentangnya karena menganggap deklarasi ini ilegal.
Deklarasi pasangan Capres dan Cawapres seyogyanya dilakukan di Rapat Pimpinan
Nasional (Rapimnas) bukan ditenga-tengah pembekalan calon anggota legislatif.
Partai
Hanura sendiri bukan partai yang masuk 3 (tiga) besar, perolehan suaranya pada
pemilu 2009 hanya 3,77 % atau sekita 3.922.870 suara dan 18 kursi di DPR atau
3,21% dari jumlah kursi di DPR (sumber : www.okezone.com), sedangkan syarat untuk
mengusung pasangan capres dan cawapres, partai politik atau gabungan partai
politik harus memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah di pemilu
legislatif. Besaran angka ini merujuk pada batasan persyaratan dalam Pemilu
Presiden 2009 karena saat ini belum ada perubahan UU Pemilu Presiden.
Keterlibatan
Wiranto dalam kancah politik terutama dalam keikutsertaan sebagai calon
presiden dimulai sejak maju sebagai Capres pada Pilpres 2004 dari hasil
Konvensi Partai Golkar berpasangan dengan Salahudin Wahid sebagai Capres yang
pada waktu itu mengalahkan Ketua Umum Partai Golkar Ir. Akbar Tanjung. Namun
hasil Pilpres 2004 telah gagal membawa pasangan Wiranto – Salahudin Wahid
karena hanya menempati urutan ketiga dan akhirnya yang muncul sebagai pemenang
adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang
diusung oleh Partai Demokrat dan JK sendiri akhirnya menjadi Ketua Umum Partai
Golkar pada periode 2004 – 2009 bersamaan sebagai Wapres. Kegagalan pada tahun
2004 tidak menyurutkan Wiranto untuk mencoba kembali peruntungannya sebagai
Capres, dalam pemilu 2009, JK pecah kongsi dengan SBY dan akhirnya bergabung
dengan sebagai Cawapres mendampingi JK yang maju sebagai Capres hasil koalisi
Partai Golkar dan Partai Hanura. Lagi-lagi gagal bagi Wiranto, sudah 2 periode
Pilpres beliau ikuti yakni pada tahun 2004 dan 2009 namun gagal.
Hary
Tanoesudibyo atau yang dikenal dengan singkatan HT merupakan pemain baru dalam
kancah politik di Indonesia namun begitu cepat melesat. HT merupakan bos media
MNC yang menaungi RCTI, MNC TV dan beberapa perusahaan lainnya. Karir HT dalam
politik di Indonesia, diawali saat dirinya bergabung ke Partai NasDem yang
didirikan oleh Surya Paloh yakni HT datang pada saat Rapat Pimpinan Nasional
(Rapimnas) Partai NasDem pada November 2011. Sebagai pemain baru, HT langsung
mendapatkan posisi sebagai Ketua Dewan Pakar dan juga sebagai Wakil Ketua
Majelis Nasional Partai NasDem, namun karena ada perbedaan pendapat dengan sang
pendiri Partai NasDem akhirnya pada Januari 2013 secara resmi HT keluar dari
NasDem dan beberapa saat kemudian bergabung dengan Partai Hanura.
Dengan
beberapa fakta yang ada, bahwa Bapak Wiranto selaku tokoh nasional yang sudah 2
(dua) kali ikut Pilpres kemudian HT pemain baru dalam politik di Indonesia,
akankah duet keduanya akan mampu lolos dalam Pilpres 2014, lantas kenapa Partai
Hanura terburu-buru untuk menduetkan keduanya sebagai pasangan Capres dan
Cawapres untuk tahun 2014, mungkin bagi
beberapa politikus indonesia dan pengamat politik, hal ini sangat
mengagetkan.
Sedikit
analisis :
1. Bahwa selama sejarah pemilihan
langsung presiden dan wakil presiden belum ada Partai yang mencalonkan figurnya
yang berasal dari satu partai politik, karena ini sangat berat harus melihat
hasil pemilu legislatifnya dulu. Jika perolehan suara parpolnya lebih dari 30%
hal ini tidak akan menjadi masalah karena syarat dapat mengajukan pasangan
Capres dan Cawapres yakni parpol atau gabungan parpol harus mendapatkan 20%
suara di DPR atau 25% suara rakyat, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
mampukah partai Hanura memperoleh suara 20% di DPR atau minimal 25% suara
rakyat.
2. Duet ini hanya sebagai pemanasan
politik pra produksi atau uji publik keputusan politik partai Hanura artinya
untuk mendapatkan pendapat masyarakat terhadap duet Wiranto dan HT ini. Disisi lain
duet ini tidak mendapat respon 100% dari seluruh kader Partai Hanura, karena
ada sejumlah kadernya yang memprotes duet ini, diketahui bersama bahwa
deklarasi duet ini bukan melalui rapat pimpinan partai hanura namun hanya
disela-sela rapat pembekalan calon legislatif partai hanura jadi seakan-akan
hanya mainan belaka.
by. MNA
No comments:
Post a Comment