Akan tetapi pergeseran zaman dan perkembangan teknologi membuat aqad dinomer duakan karena adanya kesepahaman tata nilai, seperti halnya yang terjadi di minimarket maupun pasar swalayan modern yang lain. Dimana seorang calon pembeli tidak perlu lagi bertransaksi dan melakukan aqad jual beli dengan si penjual. Karena harga barang telah dipastikan dan diinformasikan kepada pembeli, baik dengan ditempel maupun ditulis. Sehingga pebeli hanya menyerahkan uang kepada kasir selaku petugas penerima pembayaran.
Begitu pula dengan kelaziman yang terjadi dalam jual-beli di warung makan. Pembeli biasa memesan makanan terlebih dahulu, lalu memakannya tanpa bertanya harga barang pesanan itu, baru kemudian membayarnya.
Bahkan lebih canggih dari itu, di beberapa tempat telah berlaku penjualan minuman mekanik. Hanya dengan memasukkan koin atau uang dengan besaran tertentu ke dalam kotak, kemudian muncullah minuman yang diinginkan. Cara transaksi tanpa shigat aqad seperti ini dalam fiqih dikenal dengan sebutan mu’athah, yang para ulama masih berbeda pendapat.
Kelompok pertama,termasuk di dalamnya adalah Al-Bajuri dan Shahibul Muhadzzab menggap transaksi model mu’athah tidak sah, karena menghilangkan salah satu rukun aqad yaitu shighah. Dalam al-Muhadzzab dijelaskan.
ولاينعقد البيع إلا بالإيجاب والقبول, فأماالمعاطاة فلاينعقد بها البيع لأن اسم البيع لا يقع عليه
Kelompok kedua menganggap transaksi model mu’athah sah secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka menganggap bahwa hal terpenting dalam jual-beli tidak terdapat pada ijab-qabul tetapi pada kerelaan antar keduanya (penjual dan pembeli). Dengan demikian maka yang dijadikan patokan adalah adat kebiasaan masyarakat setempat. Jika satu masyarakat telah menganggapnya sebagai kebiasaan maka hukumnya sah-sah saja. Keterangan ini dinukil oleh al-Bajuri dari an-Nawawi
واختار النووى وجماعة صحة البيع بها (أى المعاطاة فى كل مايعده الناس بيعا, لأن المدار فيه على رضا المتعاقدين ولم يثبت اشتراط لفظ رفيرجع فيه الى العرف
Adapun pendapat ketiga mensyahkan mu’athah dengan syarat adanya obyek jual-beli merupakan sesuatu yang tidak besar dan dianggap remeh. Misalnya kebutuhan sehari-hari, makanan di warung makan, minuman dan lain sebagainya. Pendapat didukung oleh Sayyid Sabiq dan sebagian uama Syafi’iyyah sekaligus juga merupakan jalan tengah yang menjembatani kedua pendapat sebelumnya. Hal ini disebutkan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah
وينعقد بالايجاب والقبول ويستثنى من ذلك الشيئ الحقير فلايلزم فيه إيجاب والقبول وإنمايكتفى فيه بالمعاطاة ة ويرجع فى ذلك الى العرف وما جرت به عادات الناس غالبا
Mengenai barang yang dianggap remeh dan bersifat keseharian dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar
والمحقر كرطل خبز ونحوه ممايعتاد فيه المعاطاة
Sesuatu yang remeh ini misalkan satu rithl (satuan timbangan
masyarakat arab) roti dan yang semacamnya, yang biasa dijualbelikan
dengan cara mu’athah.Demikianlah tiga pendapat mengenai hukum jual-beli tanpa kesempurnaan aqad karena tidak adanya ijab-qabul. Bagi masyarakat awam diberikan hak memilih salah satu dari ketiganya. Karena ikhtilaful aimmah rahmatul ummah.
seri : Syariah
Sumber : www.nu.or.id
No comments:
Post a Comment